Sunday, October 11, 2009

Masterpiece karya Allah: Menemukan Kembali Al Qur'an

Emha Ainun Nadjib

Rata-rata 4 kali perminggu saya mengalami forum dengan ratusan atau ribuan orang. Kalau di luar negeri, tentulah audiensnya puluhan atau ratusan, kecuali di Malaysia. Sekitar 85% audiensnya adalah orang beragama Islam. Forum itu sendiri 60% acara Kaum Muslimin, 30% umum, 10% forum khusus saudara non-Muslim. Perjalanan keliling itu berlangsung puluhan tahun, dan sepuluh tahun terakhir ini frekwensinya meningkat sekitar 30%.

Tentu sangat banyak saya berguru pada mereka, sangat tidak seimbang dengan amat sedikitnya manfaat yang saya bisa kontribusikan. Saya, sendiri atau bersama KiaiKanjeng, berposisi amat berterima kasih kepada publik, sementara hak kami untuk diterimakasihi sangat sedikit.

Saya kisahkan di sini satu hal: bahwa saya tidak pernah menyia-nyiakan perjumpaan dengan banyak orang untuk melakukan semacam direct research kecil-kecilan. Mungkin lebih bersahaja: jajag pendapat, tentang sejumlah hal prinsipil nilai orang hidup berbangsa, beragama dan bernegara. Serta sejumlah konteks aktual yang durasi dan akurasinya tidak berlaku terlalu lama. Itupun lebih saya persempit lagi: yakni sejumlah jajag pendapat dengan berbagai-bagai kalangan Ummat Islam.

Yang hasilnya terlalu lucu, naif atau sangat kurang berpengetahuan, sebaiknya tidak saya paparkan, agar saya tidak menjadi komoditas bagi penjaja tema pelecehan Islam. Umpamanya saya bertanya: “Rasulullah menyatakan bahwa Ummat Islam akan terbagi menjadi 73 bagian, yang diterima Allah hanya satu. Anda semua ini termasuk yang 72 atau yang 1?”. 100% ummat yang saya jumpai di berbagai wilayah, strata dan segmen, menjawab sama: “Yang 1″.

Yang paling terasa pada publik Islam adalah ketidaksanggupan massal untuk membedakan antara kemungkinan, kenyataan dan keinginan. Jawaban “Yang 1″ itu rata-rata tidak mereka kejar ke dalam diri mereka sendiri apakah itu keinginan, kemungkinan ataukah kenyataan. Terlalu jauh kalau saya menuntut mereka cukup memiliki parameter untuk mengukur tingkat kemungkinan dan kadar kenyataan mereka akan diterima Allah atau tidak, sebab kelihatannya ruang batin mereka sudah sangat dipenuhi oleh keinginan, yang tak terurai secara rasional dan intelektual.

Terkadang saya menggoda: “Ibu-ibu Bapak-bapak, mohon maaf saya sendiri menemukan diri saya di antara yang 72 golongan. Saya penuh dosa dan ketersesatan, sehingga sama sekali tidak berani menyatakan bahwa saya akan pernah diterima oleh Allah. Kelihatannya kans saya untuk masuk neraka lebih besar dibanding masuk sorga.”

Sering saya menyesal atas pernyataan seperti itu, karena jelas saya memberi beban pikiran dan kegelisahan hati yang menambah keruwetan hidup mereka yang sudah sangat ruwet oleh Indonesia. Apalagi mereka rata-rata tidak punya kapasitas untuk mengidentifikasi apakah pernyataan saya itu bersifat intelektual ataukah bernuansa kultural — sebagaimana sahabat kita yang kaya menawari kita “Ayo mampir dong ke gubug saya…”. Padahal harga rumahnya 5M.

Di saat lain saya bertanya: “Kalau pergi umroh atau haji, ketika berthawaf: Sampeyan cenderung mendekat-dekat ke Ka’bah termasuk supaya bisa mencium Hajar Aswad, ataukah cenderung meletakkan diri jauh-jauh dari rumah Allah?”. 100% menjawab “mendekat-dekat ke Ka’bah”. Terhadap dialog tema ini kadang saya menggoda: “Mohon maaf saya sendiri termasuk orang yang takut-takut mendekat ke rumah Allah. Datang ke Mekkah saja pekewuh. Bahkan ketika berthawaf saya hanya berani melirik sedikit-sedikit atau mencuri pandang ke Ka’bah. Sebab saya tidak merasa pantas bertamu ke rumah Allah. Bau saya busuk, kelakuan saya buruk, tidak ada cukup kepantasan untuk berada di dekat rumah Allah”.

Terkadang saya terpeleset untuk mengungkapkan : “Coba Sampeyan sebut satu saja Nabi dan Rasul yang pernah menyatakan bahwa dirinya baik. Setahu saya hampir semua menyatakan dirinya dhalim”.

Di saat lain rajin saya bertanya kepada Ummat Islam: “Apa bekal utama manusia untuk menjadi Muslim yang baik?”

100% menjawab: “Qur’an dan Hadits”. Sungguh-sungguh sangat lama saya merindukan ada jawaban yang berbeda, dan sampai hari ini belum Allah perkenankan. Memang begitu sucinya, begitu sakral dan utamanya Kitab Suci Allah dan penuturan Rasul-Nya, sehingga Ummat Islam kebanyakan lupa pada kalimat kecil di Kitab Suci itu sendiri: “Sesungguhnya Aku menciptakan manusia sebagai masterpiece…” Inna khalaqnal insana fi ahsani taqwim.

Karya Allah yang tertunggul dan tertinggi derajatnya bukan Malaikat, bukan Al Qur’an, melainkan manusia.

Dengan sedih terpaksa saya katakan bahwa modal utama manusia untuk menjadi Muslim bukan Al Qur’an, melainkan akal.

Tidak fair kalau bekal utama manusia untuk menjadi Muslim adalah Al Qur’an. Pertama, jaman pasca-Muhammad hingga sekarang jauh lebih singkat dibanding pra-Muhammad sejak Adam AS. Kedua, kalau Qur’an adalah modal utama, harus kita pastikan bahwa semua Nabi Rasul dan ummat manusia sebelum Muhammad bukanlah Muslim. Dengan kata lain harus kita batasi kepercayaan dan wacana Islam hanya dimulai sejak kerasulan Muhammad. Ketiga, AlQur’an bukan makhluk hidup. Ia tidak bisa menjadi subyek aktif atas proses berlangsungnya kehidupan manusia. Al Qur’an bukan pelaku perubahan, pembangunan, sejarah dan peradaban ummat manusia. Al Qur’an itu alat perubahan.

Keempat, untuk menyebut secara sederhana: Al Qur’an 100% sia-sia bagi manusia yang tidak menggunakan modal utamanya sebagai manusia, yakni aktivitas akal. Al Qur’an jangan disodorkan kepada kambing, meskipun ia punya otak. Sedikit ke cabang: otak itu hardware. Untuk membuat otak melakukan pekerjaan berpikir, diperlukan software yang bernama akal. Al’aql. Akal tidak terletak, atau sekurang-kurangnya tidak berasal usul dari dan di dalam kepala manusia, melainkan berasal dari semacam mekanisme dialektika yang dinamis dari luar diri manusia, mungkin semacam gelombang elektromagnetik yang berpendar-pendar di seluruh lingkup alam semesta, namun dikhususkan menggumpal dan mengakurasi ke seputar ubun-ubun kepala setiap manusia.

Oleh karena itu prinsip utama menjalani Islam adalah ijtihad. Kalau jihad itu segala upaya perjuangan manusia menghidupi kehidupan. Ijtihad itu perjuangan intelektual. Mujahadah itu perjuangan spiritual. Ratusan kali Allah memfirmankan “Apakah engkau tidak berpikir?” “Apakah engkau tidak menggunakan akal?”. Masyarakat Barat dan Jepang Korea Cina sangat aktif melakukan ijtihad dan menguasai peradaban. Kaum Muslimin terlalu aktif bermujahadah tanpa imbangan ijtihad sehingga produknya adalah dekadensi dan inferioritas. Tetapi memang tidak mengherankan jika Ummat islam stuck dalam hal ijtihad. Alfikr itu pikiran, kata kerjanya yatafakkar, berpikir. Al-aql itu akal: bahasa Indonesia hanya kenal kata kerja “mengakali” dari kata dasar akal. Mengakali itu pekerjaan sangat mulia: ialah memandang dan memperlakukan segala sesuatu dengan daya akal. Tetapi “mengakali” dalam bahasa Indonesia adalah menipu, mencurangi, menyiasati dalam konotasi negatif.

Agak aneh Allah memerintahkan “Taatilah Allah, Rasul-Nya dan ulil amr di antara kalian”, tetapi yang terjadi adalah ketaatan kepada para penerus Rasul atau yang dianggap oleh umum atau yang menganggap dirinya penerus Rasul — namun tanpa tradisi ijtihad, sementara ulul amr, “petugas urusan-urusan” tak pernah ditegasi konteks dan subyeknya. Apakah Ulama mengurusi petani dan pertanian sehingga ditaati? Apakah Ustadz mengurusi pasar dan penggusuran sehingga dipatuhi? Apakah Kiai mengurusi, menguasai, memahami, mengerti dan mendalami teknologi, industri, ketatanegaraan, konstitusi dan hokum, pemetaan sosial masyarakat, hutan, sungai, laut, sehingga dipatuhi?

Hampir tak pernah terdengar fatwa tentang kehidupan nyata manusia dan masyarakat. Barusan ada fatwa satu tentang nuklir: cabang bilang haram, pusat bilang halal. Bagaimana kok ada organisasi cabangnya haram pusatnya halal. Bagaimana ada makhluk tak jelas Malaikat atau Setan. Ada satu lagi saya simpan fatwa tentang jual beli dang ganti rugi: mudah-mudahan jangan ada versi counter fatwa, karena fatwa itu tidak didasari konsiderasi ilmiah dan penelitian rasional apapun.

Islam tumbuh di Musholla dan Masjid, bertahan kerdil dalam kesempitan dan kejumudan. Pengadilan Agama hidup dari konflik-konflik rumahtangga, tidak berususan dengan keadilan keuangan rakyat, dengan keadilan atas sungai dan hutan, dengan keadilan politik, perekonomian, ekosistem, internet — sesekali muncul dari pintu belakang fatwa dan pernyataan keadilan halal dan haram tentang Presiden wanita haram, beberapa tahun kemudian berbalik menjadi halal berdasar sisi kepentingan yang sedang disangga.

Pemain-pemain sepakbola diidentifikasi, diuji, dianalisis dan dipilih oleh expert sepakbola, pelatih dan official. Kiai, Ulama, Ustadz diidentifikasi, diuji, dianalisis dan dipilih berdasarkan mata pandang industri dan kepentingan komersial. Orang Islam terlalu jauh meninggalkan akal sebagai modal utama kemuslimannya. Mereka salah sangka terhadap Al Qur’an, dan kurang peka memikirkan kemungkinan bahwa Iblis dan Setan sejak jaman dahulu kala sudah fasih membaca Quran dan mungkin menghapalnya, sebagai satu bagian strateginya untuk mengalahkan manusia.

Saturday, September 5, 2009

mana ada sejarah kita mengalah

adymoralist

kukira hampir setiap orang pernah merasa kalah
dan sangat sering mendengar bahwa itu adalah kemenangan yang tertunda
ragam bentuk perjuangan kita, menghadapinya atau meninggalkan dengan menggantikan hal yang baru.

hidup ini terus berlalu
walau pelan asal terus maju
tak ada perlawanan tampa keringat

gak mungkin kan berjuang untuk kalah
mengalah untuk kebaikan itu gentleman agreeman
karna no body do something for nothing

rebut, jangan diam saja terlalu lama

Tuesday, August 18, 2009

kangen

adymoralist

bagah neriwang wahai panglima prang
taduk sajan tabangun nanggroe
hana titel utoh menanchit raja
ken untuk syara atau keluarga
hek nyoe mandum untuk rakyat bersama

Monday, June 15, 2009

Rakyat sebagai Kekasih Sejati

Emha Ainun Nadjib

Beberapa bulan sebelum Indonesia masuk 2009, orang saling bertanya: "Siapa ya, sebaiknya presiden kita nanti?" Kemudian mereka menyebut sejumlah nama, membandingkannya, memperdebatkannya, atau membiarkan nama-nama itu berlalu dalam dialog yang tak selesai.

Atmosfer dialog tentang calon presiden diwarnai oleh berjenis-jenis nuansa, latar belakang ilmu dan pengetahuan, kecenderungan budaya, fanatisme golongan, pandangan kebatinan, juga berbagai wawasan yang resmi maupun serabutan.Namun, semuanya memiliki kesamaan: perhatian yang mendalam kepada kepemimpinan nasional dan cinta kasih yang tak pernah luntur terhadap bangsa, tanah air, dan negara.

Itu berlangsung ya di warung-warung, bengkel-bengkel motor, serambi masjid, gardu ronda, juga di semua lapisan: kantor-kantor profesional, ruangan-ruangan kaum cendekiawan, istana-istana kaum pengusaha, termasuk di sekitar meja- meja pemerintahan sendiri. Ketika saatnya tiba, mereka memilih:ada yang berdiam diri bergeming dari posisinya sekarang bersama pemerintahan presiden yang sedang berkuasa. Ada yang menoleh ke kemungkinan mendulang harapan ke pemimpin tradisional. Ada yang merapat ke pemimpin yang pernah memimpin dan kembali mencalonkan diri. Atau kepada kemungkinan lain: pergerakan terjadi ke berbagai arah, lama maupun baru. Dan, semuanya selalu sangat menggairahkan.

Memiliki Pola Kearifan

Rakyat Indonesia, entah apa asal-usul genealogis dan peradabannya dahulu kala, memiliki pola kearifan, empati dan toleransi, serta semacam sopan santun yang khas dan luar biasa. Bagi rakyat, Ibu Pertiwi itu semacam Ibunya, Negara (KRI) itu semacam Bapaknya, dan pemerintah itu kekasihnya. Kekasih yang selalu disayang, dimaklumi, dimaafkan. Suatu saat rakyat bisa sangat marah kepada pemerintah, tetapi cintanya tetap lebih besar dari kemarahannya sehingga ujung kemarahannya tetap saja menyayangi kembali, memaklumi, dan memaafkan.

Rakyat Indonesia sangat tangguh sehingga posisinya bukan menuntut, menyalahkan, dan menghukum pemerintahnya, melainkan menerima, memafhumi kekurangan, dan sangat mudah memaafkan kesalahan pemerintahnya. Bahkan, rakyat begitu sabar, tahan dan arifnya tatkala sering kali mereka yang dituntut, dipersalahkan, dan dihukum oleh pemerintahnya. Itulah kekasih sejati.

Kekasih sejati memiliki keluasan jiwa, kelonggaran mental, dan kecerdasan pikiran untuk selalu melihat sisi baik dari kepribadian dan perilaku kekasihnya. Prasangka baik dan kesiagaan bersyukur selalu menjadi kuda-kuda utama penyikapannya terhadap pihak yang dikasihinya. Kekasih sejati tidak memelihara kesenangan untuk menemukan kesalahan kekasihnya, apalagi memperkatakannya. Kegagalan kekasihnya selalu dimafhuminya, kesalahan kekasihnya selalu pada akhirnya ia maafkan.

Puncak kekuatan dan cinta rakyat Indonesia, si kekasih sejati, kepada pemerintahnya, adalah menumbuhkan rasa percaya diri kekasihnya, menjaga jangan sampai kekasihnya merasa tak dibutuhkan. Rakyat Indonesia selalu memelihara suasana hubungan yang membuat pemerintah merasa mantap bahwa ia sungguh-sungguh diperlukan oleh rakyatnya. Rakyat Indonesia selalu bersikap seolah-olah ia membutuhkan pemerintahnya, presidennya, beserta seluruh jajaran birokrasi tugas dan kewajibannya. Bahkan, rakyat mampu menyembunyikan rasa sakit hatinya agar si pemerintah kekasihnya tidak terpuruk hatinya dan merasa gagal.

Lebih dari itu, meski sering kali rakyat merasa bahwa keberadaan pemerintahnya sebenarnya lebih banyak mengganggu daripada membantu, lebih banyak merugikan daripada menguntungkan, atau lebih banyak mengisruhkan daripada menenangkan, rakyat tak akan pernah mengungkapkan kandungan hatinya itu, demi kelanggengan percintaannya dengan pemerintah si kekasih.

Rakyat sangat menjaga diri untuk tidak mengungkapkan bahwa siapa pun presiden yang terpilih nanti tak akan benar-benar mampu menyelesaikan komplikasi masalah yang mengerikan yang mereka derita. Rakyat tidak akan pernah secara transparan menyatakan bahwa seorang presiden saja, siapa pun dia, takkan sanggup berbuat setingkat dengan tuntutan dan kebutuhan obyektif rakyatnya meski disertai kabinet yang dipilih tanpa beban pembagian kekuasaan dan berbagai macam bentuk kolusi, resmi maupun tak resmi.

Begitu banyak yang mencalonkan diri jadi presiden dan situasi itu ditelan oleh rakyat dengan keluasan cinta. Rakyat melakukan dua hal yang sangat mulia. Pertama, menyimpan rahasia pengetahuan bahwa di dalam nurani dan estetika peradaban mereka: pemimpin yang tidak menonjolkan diri dan tidak merasa dirinya adalah pemimpin sehingga ia tidak mencalonkan diri menjadi pemimpin, sesungguhnya lebih memberi rasa aman dan lebih menumbuhkan kepercayaan dibandingkan pemimpin lain yang merasa dirinya layak jadi pemimpin sehingga mencalonkan diri jadi pemimpin.

Kemuliaan kedua yang dilakukan rakyat adalah jika pemilu tiba, mereka tetap memilih salah seorang calon pemimpin karena berani menanggung risiko hidup yang tidak aman. Keberaniannya menanggung risiko itu mencerminkan kekuatan hidupnya, yang sudah terbukti berpuluh-puluh tahun di rumah negaranya.

Monday, February 16, 2009

tak selamanya kebisingan itu mengganggu

adymoralist

Di tengah hingar bingarnya pasar
kadang ada asiknya untuk sejenak menyendiri
untuk lebih mengenal diri
dan lebih bisa menghargai makna hidup ini

tak selamanya kebisingan itu mengganggu
bisa jadi kesunyian itu menghanyutkan


Belajar menjadi pembeli yang baik
dan mengenal penjual yang mulia

bermodal box yg berisikan beberapa semir
atau beralaskan karton jualan di emperan pasar
berangkat pagi pulang malam hanya untuk makan sehari
sudah barang tentu anak istri dirumah menunggu

salamnya tulus ikhlas, mentalnya iman
bersabar seharian dengan sehelai pakaian lusuh penuh keyakinan
karna mereka tak beriman pada mental korupsi
atau berkiblat sebagai penjilat

Sunday, February 15, 2009

warna warni kehidupan

adymoralist

Kaku stagnan serasa hampa
tiada semangat tuk berbuat
kehadirannya seakan menghakimiku
semoga ia bukanlah Maha Satpam

Senyumpun tak dibagi
hambar rasanya persahabatan ini
entah ia merasa benar
selainnya adalah sarana dakwah

Datang, lirik sana dan sini lalu pergi
ketika butuh, mendekatiku dengan topeng senyum
sungguh tidak murni, senyumnya tak lepas tp terpaksa
kuharap silaturahmimu bukan atas kepentingan

90% kebaikan orang lain adalah hal wajar
namun bila orang itu kentut, jangan harap gunjingannya berhenti
seakan tiada hak lagi untuk berubah
atau ia merasa tuhan, namun setahuku Dia Ar-Rahman dan Ar-Rahim

Tuesday, February 3, 2009

Perang Agama, Ras, atau Apa?

Emha Ainun Nadjib

Israel memang nyusahin. Kita semua jadi repot. Harus demo, harus mengutuk, harus wiridan. Qunut nazilah. Diskusi sana-sini. Belum keluar duitnya. Utus orang untuk bantu penanganan kesehatan. Macam-macam. Anda semua juga pasti jadi repot. Ngerusak acara. Ngaco irama. Program kita jadi ekstra ini-itu. Hati jadi rusuh. Pikiran mesti menanggung beban dan mengolah hal-hal yang mestinya tak perlu. Saya diserbu SMS. Ada yang info saja, ada yang mobilisasi. Ada yang menuntut supaya saya turut menyatakan kutukan, seolah-olah ada yang tertarik memerlukan kutukan saya. Lebih-lebih lagi seakan-akan kutukan saya akan mampu mengubah arah terbangnya nyamuk.

"Kenapa sih Cak kok semua pembicaraan tentang penyerbuan Israel ke Gaza hanya satu saja temanya: kekejaman?" kata sepotong SMS.

Saya jawab dengan jengkel, "Pertama, kok nanya saya? Kedua, emang saya tahu apa tentang itu? Ketiga, orang lagi perang, kita diskusi."

"Kenapa tidak ada analisis yang agak luas, yang historis-komprehensif tentang segala hal yang melatarbelakangi konflik itu."

"Walah! Mana saya paham...."

"Kan harus diperjelas oleh kita semua bahwa konflik Israel-Palestina itu konflik ras, konflik agama, atau apa? Kalau ras, kan banyak juga warga Palestina yang beragama Nasrani. Apakah ini perang agama Yahudi melawan Islam-Kristen? Kalau ya demikian, mestinya semua umat Islam di dunia bahu-membahu dengan semua umat Protestan dan Katolik melawan Yahudi. Hancur dong Israel ngelawan Arab Saudi dan negara-negara Islam lain, Indonesia, gabung sama Amerika, Jerman, Inggris dll. Dengan catatan bahwa agama mayoritas penduduk menentukan sikap pemerintahnya. "

"Ya, lantas?"

"Orang beragama Yahudi kan juga tidak hanya ada di Israel, tapi juga di mana-mana, terutama negara-negara Barat, bahkan di Amerika Serikat banyak menguasai berbagai kunci strategis di bidang politik dan perekonomian. Berarti akan terjadi multikonflik di berbagai negara ndak karu-karuan di antara pemeluk tiga agama itu, kecuali Indonesia... ."

Saya goda, "Indonesia tak kalah serem konflik internalnya. Kan Yahudi itu bukan tidak ada di Indonesia. Jewish mirip-mirip Jawa, J dan W-nya. Ibu kota Israel saja Java Tel Aviv. Banyak kantor Yahudi di negara-negara Barat selalu pakai kata "Java". Ukiran hias di mahkota para rabi Yahudi mirip ukiran pintu bagian atas di sejumlah tempat pesisir utara Pulau Jawa. Makanya, kalau memang Israel jantan dan punya nyali, suruh serbu Indonesia, ayo kalau berani!"

"Saya serius, Cak."

"Saya juga serius. Kalau Israel berani nyerang kita, persoalan PHK menjadi beres. Jutaan orang yang tak punya kerjaan, jadi punya kerjaan. Pasti senang teman-teman itu kalau ada situasi perang. Hidup nggak ada harapan kok ditantang berkelahi, ya ayo!"

"Jadi, menurut Cak Nun, itu perang agama atau bukan?"

"Emang saya ahli Timur Tengah? Pakar agama? Nyang bener aje...."

"Atau perang ras?"

"Kalau saya sih ndak penting ras, agama, atau apa pun, pokoknya tidak perang."

"Kalau ras, kayaknya nggak juga. Kan di Israel sendiri ada demo menentang keputusan perdana menteri mereka yang memutuskan penyerbuan itu. Orang Yahudi kan tidak semua Zionis. Banyak juga orang Yahudi yang anti-Zionisme, baik dari kalangan Yahudi Askinazim maupun Sepharadim. Bahkan bukan tidak ada orang Yahudi yang beragama Kristen atau Islam. Atau malah jangan-jangan ada juga Yahudi beragama Kristen atau Islam tapi pro-Zionisme. "

"Anda ini bingung kok ngajak-ngajak saya!"

"Saya ini mau tahu itu sebenarnya konflik apa? Kok nggak ada ujungnya, nggak ada selesainya, kayaknya sepanjang masa."

"Salah alamat kalau nanya ke saya. Yang paling efektif dan produktif, bertanya kepada Tuhan."

"Apa urusannya ama Tuhan?"

"Lho, cacing saja punya garis keterkaitan yang logis rasional dengan Tuhan."

"Emang Tuhan mungkin terlibat dalam peperangan?"

Saya jadi gatal ingin menggoda lebih lanjut. "Kan seolah-olah Tuhan menggambarkan bahwa kehidupan ini begini: Ia memperjalankan manusia di malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa. Kan begitu di Surah Al-Isro. Hidup ini ulang-alik berdialektika dari dan di antara kegembiraan dan duka, di antara cahaya dan kegelapan, di antara yang menyenangkan dan yang menyusahkan, di antara yang bikin hati semringah dengan yang bikin hati gerah. Kalau ingat Masjidil Haram, hati senang. Lantas ingat Masjidil Aqsa, hati jadi rusuh lagi. Dan itu semua berlangsung di malam hari. Artinya hidup ini kegelapan: kita nggak pernah tahu apa yang akan terjadi semenit mendatang. Apa kita penjual nasi, sopir taksi, pengusaha besar, pejabat tinggi, atau siapa pun: tidak tahu persis dagangan kita laku berapa, saham kita anjlok atau tidak, di depan sana ada calon penumpang nyegat taksi saya atau tidak. Hidup adalah malam hari. Dan seluruh SMS Anda itu seratus persen mencampakkan
saya ke kegelapan malam...."

"Gini aja, deh," kata SMS itu lagi, "kenapa sih kok Arab Saudi dan negara-negara Arab Islam tetangga Palestina tidak ngebantuin? Bahkan Iran yang dulu mengancam akan kirim rudal, nggak juga sampai sekarang."

"Mau saya teleponkan Pak Ahmadinejad sekarang?"

"Saya serius, Cak"

"Saya tidak hanya serius mikirin Palestina, tapi juga makin stres mikirin pulsa....".
(Emha Ainun Nadjib/Koran Tempo/6 Januari 2009/PadhangmBulanN etDok)

Sunday, January 11, 2009

Nanjah Ma'an

adymoralist

Nanjah Ma'an
(do'ain ya . . .)

Malam, aku sendiri diruang ini
Tapi aku tak pernah merasa sepi
Karna Sang Maha Kuasa selalu ada
Disetiap ruang dan waktu

Malam, tolong sampaikan doaku
Untuk sahabatku kepada-Nya
Karna aku malu . . .
Tak sepenuhnya menjalankan perintah-Nya

Walau ku tahu Innahu Samii'un Bashir . . .


ttd, aku juga makhluk-Nya !

RENDRA DALAM MAKNA

Muhammad Ainun Nadjib Rendra yg kami cintai Berpindah rumahnya Dari penglihatan dan pengetahuan Menuju rumah sejati abadi Yg bernama makna, ...