Monday, February 16, 2009

tak selamanya kebisingan itu mengganggu

adymoralist

Di tengah hingar bingarnya pasar
kadang ada asiknya untuk sejenak menyendiri
untuk lebih mengenal diri
dan lebih bisa menghargai makna hidup ini

tak selamanya kebisingan itu mengganggu
bisa jadi kesunyian itu menghanyutkan


Belajar menjadi pembeli yang baik
dan mengenal penjual yang mulia

bermodal box yg berisikan beberapa semir
atau beralaskan karton jualan di emperan pasar
berangkat pagi pulang malam hanya untuk makan sehari
sudah barang tentu anak istri dirumah menunggu

salamnya tulus ikhlas, mentalnya iman
bersabar seharian dengan sehelai pakaian lusuh penuh keyakinan
karna mereka tak beriman pada mental korupsi
atau berkiblat sebagai penjilat

Sunday, February 15, 2009

warna warni kehidupan

adymoralist

Kaku stagnan serasa hampa
tiada semangat tuk berbuat
kehadirannya seakan menghakimiku
semoga ia bukanlah Maha Satpam

Senyumpun tak dibagi
hambar rasanya persahabatan ini
entah ia merasa benar
selainnya adalah sarana dakwah

Datang, lirik sana dan sini lalu pergi
ketika butuh, mendekatiku dengan topeng senyum
sungguh tidak murni, senyumnya tak lepas tp terpaksa
kuharap silaturahmimu bukan atas kepentingan

90% kebaikan orang lain adalah hal wajar
namun bila orang itu kentut, jangan harap gunjingannya berhenti
seakan tiada hak lagi untuk berubah
atau ia merasa tuhan, namun setahuku Dia Ar-Rahman dan Ar-Rahim

Tuesday, February 3, 2009

Perang Agama, Ras, atau Apa?

Emha Ainun Nadjib

Israel memang nyusahin. Kita semua jadi repot. Harus demo, harus mengutuk, harus wiridan. Qunut nazilah. Diskusi sana-sini. Belum keluar duitnya. Utus orang untuk bantu penanganan kesehatan. Macam-macam. Anda semua juga pasti jadi repot. Ngerusak acara. Ngaco irama. Program kita jadi ekstra ini-itu. Hati jadi rusuh. Pikiran mesti menanggung beban dan mengolah hal-hal yang mestinya tak perlu. Saya diserbu SMS. Ada yang info saja, ada yang mobilisasi. Ada yang menuntut supaya saya turut menyatakan kutukan, seolah-olah ada yang tertarik memerlukan kutukan saya. Lebih-lebih lagi seakan-akan kutukan saya akan mampu mengubah arah terbangnya nyamuk.

"Kenapa sih Cak kok semua pembicaraan tentang penyerbuan Israel ke Gaza hanya satu saja temanya: kekejaman?" kata sepotong SMS.

Saya jawab dengan jengkel, "Pertama, kok nanya saya? Kedua, emang saya tahu apa tentang itu? Ketiga, orang lagi perang, kita diskusi."

"Kenapa tidak ada analisis yang agak luas, yang historis-komprehensif tentang segala hal yang melatarbelakangi konflik itu."

"Walah! Mana saya paham...."

"Kan harus diperjelas oleh kita semua bahwa konflik Israel-Palestina itu konflik ras, konflik agama, atau apa? Kalau ras, kan banyak juga warga Palestina yang beragama Nasrani. Apakah ini perang agama Yahudi melawan Islam-Kristen? Kalau ya demikian, mestinya semua umat Islam di dunia bahu-membahu dengan semua umat Protestan dan Katolik melawan Yahudi. Hancur dong Israel ngelawan Arab Saudi dan negara-negara Islam lain, Indonesia, gabung sama Amerika, Jerman, Inggris dll. Dengan catatan bahwa agama mayoritas penduduk menentukan sikap pemerintahnya. "

"Ya, lantas?"

"Orang beragama Yahudi kan juga tidak hanya ada di Israel, tapi juga di mana-mana, terutama negara-negara Barat, bahkan di Amerika Serikat banyak menguasai berbagai kunci strategis di bidang politik dan perekonomian. Berarti akan terjadi multikonflik di berbagai negara ndak karu-karuan di antara pemeluk tiga agama itu, kecuali Indonesia... ."

Saya goda, "Indonesia tak kalah serem konflik internalnya. Kan Yahudi itu bukan tidak ada di Indonesia. Jewish mirip-mirip Jawa, J dan W-nya. Ibu kota Israel saja Java Tel Aviv. Banyak kantor Yahudi di negara-negara Barat selalu pakai kata "Java". Ukiran hias di mahkota para rabi Yahudi mirip ukiran pintu bagian atas di sejumlah tempat pesisir utara Pulau Jawa. Makanya, kalau memang Israel jantan dan punya nyali, suruh serbu Indonesia, ayo kalau berani!"

"Saya serius, Cak."

"Saya juga serius. Kalau Israel berani nyerang kita, persoalan PHK menjadi beres. Jutaan orang yang tak punya kerjaan, jadi punya kerjaan. Pasti senang teman-teman itu kalau ada situasi perang. Hidup nggak ada harapan kok ditantang berkelahi, ya ayo!"

"Jadi, menurut Cak Nun, itu perang agama atau bukan?"

"Emang saya ahli Timur Tengah? Pakar agama? Nyang bener aje...."

"Atau perang ras?"

"Kalau saya sih ndak penting ras, agama, atau apa pun, pokoknya tidak perang."

"Kalau ras, kayaknya nggak juga. Kan di Israel sendiri ada demo menentang keputusan perdana menteri mereka yang memutuskan penyerbuan itu. Orang Yahudi kan tidak semua Zionis. Banyak juga orang Yahudi yang anti-Zionisme, baik dari kalangan Yahudi Askinazim maupun Sepharadim. Bahkan bukan tidak ada orang Yahudi yang beragama Kristen atau Islam. Atau malah jangan-jangan ada juga Yahudi beragama Kristen atau Islam tapi pro-Zionisme. "

"Anda ini bingung kok ngajak-ngajak saya!"

"Saya ini mau tahu itu sebenarnya konflik apa? Kok nggak ada ujungnya, nggak ada selesainya, kayaknya sepanjang masa."

"Salah alamat kalau nanya ke saya. Yang paling efektif dan produktif, bertanya kepada Tuhan."

"Apa urusannya ama Tuhan?"

"Lho, cacing saja punya garis keterkaitan yang logis rasional dengan Tuhan."

"Emang Tuhan mungkin terlibat dalam peperangan?"

Saya jadi gatal ingin menggoda lebih lanjut. "Kan seolah-olah Tuhan menggambarkan bahwa kehidupan ini begini: Ia memperjalankan manusia di malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa. Kan begitu di Surah Al-Isro. Hidup ini ulang-alik berdialektika dari dan di antara kegembiraan dan duka, di antara cahaya dan kegelapan, di antara yang menyenangkan dan yang menyusahkan, di antara yang bikin hati semringah dengan yang bikin hati gerah. Kalau ingat Masjidil Haram, hati senang. Lantas ingat Masjidil Aqsa, hati jadi rusuh lagi. Dan itu semua berlangsung di malam hari. Artinya hidup ini kegelapan: kita nggak pernah tahu apa yang akan terjadi semenit mendatang. Apa kita penjual nasi, sopir taksi, pengusaha besar, pejabat tinggi, atau siapa pun: tidak tahu persis dagangan kita laku berapa, saham kita anjlok atau tidak, di depan sana ada calon penumpang nyegat taksi saya atau tidak. Hidup adalah malam hari. Dan seluruh SMS Anda itu seratus persen mencampakkan
saya ke kegelapan malam...."

"Gini aja, deh," kata SMS itu lagi, "kenapa sih kok Arab Saudi dan negara-negara Arab Islam tetangga Palestina tidak ngebantuin? Bahkan Iran yang dulu mengancam akan kirim rudal, nggak juga sampai sekarang."

"Mau saya teleponkan Pak Ahmadinejad sekarang?"

"Saya serius, Cak"

"Saya tidak hanya serius mikirin Palestina, tapi juga makin stres mikirin pulsa....".
(Emha Ainun Nadjib/Koran Tempo/6 Januari 2009/PadhangmBulanN etDok)

RENDRA DALAM MAKNA

Muhammad Ainun Nadjib Rendra yg kami cintai Berpindah rumahnya Dari penglihatan dan pengetahuan Menuju rumah sejati abadi Yg bernama makna, ...