Wednesday, January 9, 2008

Maiyah Itu Apa Sih ?

Emha Ainun Nadjib

Maiyah Putih

Warga Kiai kanjeng Sepuh berkeliling ke mana-mana, ke rumah-rumah masyarakat, ke alun-alun, lapangan, halaman masjid atau kelurahan, gedung olahraga, jalan raya, trotoar atau di manapun saja: melakukan maiyahan. Bercelana putih, berbaju putih, bertutup kepala putih.
Belum tentu karena mereka orang ‘alim (istilah ini sungguh menggelikan), religious, rajin shalat, suntuk wiridan. Pakaian putih-putih itu bukan kostum pentas, dan sama sekali tidak diperuntukkan bagi siapapun yang melihatnya. Pakaian putih itu mereka peruntukkan bagi diri mereka sendiri. Mereka itu orang-orang yang mengerti bahwa hidup mereka masih kotor, masih banyak dosa dan maksiat, kepada manusia maupun maksiat kepada Allah. Maka mereka memerlukan dorongan dan rangsangan untuk melakukan proses pembersihan diri. Reresik. Maka putih-putih itu mereka tujukan kepada suasana hati dan konsentrasi pikiran mereka sendiri, agar kalau bisa jangan menerus-neruskan yang kotor-kotor, yang belum tentu baik dan benar, yang tidak sejati dan tidak abadi.
Jadi benar-benar pakaian putih itu bukan show costume bagi para penonton atau siapa­ pun, melainkan untuk dirinya sendiri. Kalaupun kepada Tuhan mereka persembahkan putih-putih itu, bukan untuk melaporkan kesucian, melainkan justru untuk mengakui kehitaman.

Maiyah Bunyi
Mereka membawa alat-alat musik dan bernyanyi-nyanyi, terkadang berteriak-teriak, di saat lain menggeremang, atau bahkan memekik-mekik.
Apa gerangan yang mereka bunyikan? Nyanyian-nyanyian bersama kepada Allah. Tidak kita sebut untuk Allah. Sebab kalau bernyanyi untuk Allah, bisa kita lakukan di mana saja tanpa harus menghadap Allah, asalkan nyanyiannya kita peruntukkan bagi Allah. Kata kepada dipilih untuk menggambar­kan dinamika proses, suluk –menempuh perjalanan rohaniah– menuju atau kepada Allah. Jadi tatkala mereka memekik-mekik, sesungguhnya hati mereka berlari sekencang-kencangnya ke keharibaan Allah –tentu dengan rasa malu yang sangat atas banyak dosa-dosa.
Kenapa shalawatan, wiridan, berdzikir, mengaku dosa kok pakai musik? Karena manusia itu khalifatullah, mandataris yang ditunjuk oleh Allah untuk mengurus dirinya sendiri dan alam semesta.. Khalifah itu pengelola. Manager. Direktur kehidupan. Eksekutif, badan pelaksana.
Para khalifah alias direktur-direktur ini menentukan apakah saron dibunyikan untuk mengiringi tayuban ataukah untuk memper­indah pernyataan cinta kepada Allah. Mereka yang mengambil keputusan apakah biola digesek, kibor dipencet, seruling ditiup, perkusi ditabuh, terbang ditampar –untuk memeriah­kan tarian atau lagu-lagu yang tidak terjamin keamanannya di depan pandangan nilai Allah, ataukah dipakai untuk memper­asyik lagu puja-puji atas keagungan Allah. Tentu saja, asalkan jangan lantas orang adzan diiringi biola, orang sholat ditabuhi pakai gendang, orang thowaf diiringi genderang massal.
Maiyah bukan ibadah makhdloh. Ia hanya kegiatan budaya yang menggali inspirasi dari Agama. Ia hanya mereligiouskan perilaku budaya. Ia hanya aktivitas sosial budaya yang tidak merelakan dirinya kalau hanya diper­untukkan buat yang bukan Allah. Karena sabbaha lillahi ma fis samawati wa ma fil ardli, seluruh makhluk yang di langit dan di bumi ini bertasbih kepada Allah. Dan para khalifah Kiai Kanjeng Sepuh tahu, bahwa yang bertasbih kepada Allah itu bukan hanya Jin dan manusia, tapi juga benda-benda, saron, biola, seruling, terbang, bahkan capung, rumput, daun-daun kering. Bukankah Allah tidak menggunakan kata man fis samawati, melainkan ma fis samawati?

Maiyah Kata
“Inna ma’iya rabbii”, tutur Musa, Nabi ‘alaihissalam, untuk meyakinkan ummatnya bahwa Allah ada bersamanya. Muhammad Rasulullah saw. juga menggunakan kata yang sama —di gua Tsur, tatkala dikejar-kejar oleh pasukan musuh— untuk menghibur dan memelihara iman Abu Bakar, sahabat beliau, Sayyid kita radliallahu ‘anhu: “La takhaf wa la tahzan, innallaha ma’ana”. Jangan takut jangan sedih, Allah ada menyertai kita.
Jadi, asal usulnya dari ma’a. Artinya, dengan, bersama, beserta. Ma’iyatullah, kebersamaan dengan Allah. Ma’iyah itu kebersamaan. Ma’ana bersama kita.
Ma’iya, bersamaku. Lantas kata-kata dan bunyi Arab itu ‘kesandung’ oleh lidah etnik kita menjadi Maiya, atau Maiyah, atau Maiyahan.
Mengenai Ibu Bapakmu, hal anak cucu para keponakan dan sanak famili, tentu kau ucapkan inna ma’iya, sesungguhnya (mereka) bersamaku. Bersamaku artinya bukan ke mana-mana ubyang-ubyung bareng, makan bareng, mandi bareng. Maknanya substansial, haqiqiyah. Kalau engkau bersamaku berarti engkau adalah bagian dari hatiku. Engkau adalah salah satu serat-serat dari struktur perasaanku. Kalau engkau riang, aku gembira. Kalau engkau berduka, aku menderita. Kalau engkau disakiti, aku mengaduh. Kalau engkau disengsarakan, aku menangis. Kalau engkau ditimpa masalah, itu juga masalahku. Kalau engkau memerlukan, aku mengupayakan pemenuhan. Kalau engkau membutuhkan, aku mengusahakan keberesan. Engkau dan aku sayang menyayangi, kasih mengasihi, tolong menolong, bela membela satu sama lain.

Maiyah Sosial
Kepada teman-teman, kepada para tetangga, kepada sesama ummat, masyarakat, warnanegara, sesama manusia, apapun saja sukunya, bangsanya, golongannya, kelompoknya, organisasinya, kepercayaan dan pendapatnya – tidak layakkah, atau bahkan tidak seyogyanyakah, atau siapa tahu tidak haruskah – engkau dan aku ucapkan dan ikrarkan juga : inna ma’iya, sesungguhnya mereka semua ada bersamaku, dan sesungguhnya aku ada bersama mereka?
Kiai Kanjeng Sepuh berkeliling ke mana-mana, menembus berbagai sisi, segmen, lapisan, golongan, kelompok, wilayah, daerah dan jenis sosiologis masyarakat untuk menumbuhkan pertanyaan dan kesadaran inna ma’iya semacam itu.
Adakah dengan tetanggamu, masyarakat dan bangsamu, engkau tidak bersedia tolong menolong, melainkan ancam mengancam? Tidak bersedia saling setia, melainkan saling khianat? Tidak mau saling membela, melainkan saling menghancurkan? Tidak siap saling ikhlas, melainkan saling tidak rela? Tidak saling menhgarapkan kebahagiaan bagi yang lain, melainkan diam-diam mensyukuri penderitaan mereka?

Maiyah Bahasa
Bahasa kenegaraan Maiyah itu nasionalisme. Bahasa mondialnya universalisme. Bahasa peradabannya pluralisme. Bahasa kebudayaannya heterogenisme, atau kemajemukan yang direlakan, dipahami dan dikelola. Metoda atau managemen pengelolaan itu namanya demokrasi.
Bahasa ekonominya Maiyah adalah tidak adanya kesenjangan penghidupan antara satu orang atau suatu kelompok dengan lainnya. Tapi ini terlalu ideal dan utopis: jadi mungkin lebih realistis kita pakai ungkapan Maiyah adalah proses dinamis menyempitnya atau mengecilnya jarak atau kesenjangan penghidupan di antara manusia. Diproses secara sistemik-kolektif jangan sampai ada yang terlalu kaya sementara lainnya terlalu fakir. Kadar Maiyah semakin tinggi dan kualitatif berbanding lurus dengan semakin mengecilnya kesenjangan itu.
Di dalam teori Maiyah nasionalisme, selalu ditemukan ada banyak pihak, ada banyak wajah, ada banyak warna, ada banyak kecenderungan dan pilihan. Masing-masing pilihan itu menggunakan warnanya sendiri-sendiri, wajahnya sendiri-sendiri dan kecenderungannya sendiri-sendiri. Setiap ika menghidupi dan menampilkan dirinya masing-masing, sehingga pada semuanya tampak sebagai bhinneka. Berbagai perbedaan itu tidak membuat mereka berperang satu sama lain, karena diikat oleh prinsip ke-ika-an, yakni komitmen kolektif untuk saling menyelamatkan dan menyejahterakan. Demikianlah berita gembira berdirinya Republik Indonesia dulu. Sikap Maiyah di antara berbagai pilihan itu adalah kesepakatan untuk saling menyetorkan kebaikan dan kemashlahatan untuk semua.
Di era sejarah Orde Baru, berlangsung policy politik nasional atau strategi kebudayaan di mana para ‘masing-masing’ itu dilarang menunjukkan kemasing-masingannya. Maksudnya baik, orang jangan menonjolkan siapa dirinya, bagaimana wajahnya dan apa warnanya. Semua disatukan, diseragamkan, identitas masing-masing disembunyikan semaksimal mungkin. Orde Baru berprinsip Tunggal Ika.
Maiyah adalah Bhinneka Tunggal Ika. Yang Batak omonglah dengan logat Batak. Yang Bugis ya dialek Bugis. Yang Madura ya cengkok Madura. Tak ada perlunya ditutup-tutupi, sepanjang ada kesepakatan untuk saling melindungi, saling menyayangi da memproses tujuan kebahagiaan bersama.
Yang Budha, berpakaianlah Budha. Yang Katholik katholiklah. Yang Islam islamlah. Om swastiastu tak usah diganti Padamu Negeri. Haleluya tak usah diganti Tanah Tumpah Darahku. Shalatullah salamullah tak usah diganti Ibu Kita Kartini. Heterogenitas itu cukup dijaga oleh satu prinsip: saling memperuntukkan dirinya bagi kebersamaan. Itulah Maiyah.

Maiyah Lingkaran
Dulu Kiai Kanjeng pentas dan diletakkan di panggung. Mereka ditonton oleh penonton. Kiai Kanjeng Sepuh yang ber-maiyah tidak berada di panggung dan tidak ditonton oleh siapa-siapa.
Mereka duduk melingkar, sehingga terserah orang lain akan bergabung menciptakan lapisan-lapisan lingkaran berikutnya atau tidak. Kiai Kanjeng Sepuh tidak mempertunjukkan musik dan suaranya kepada penonton. Mereka hanya bernyanyi, bershalawat, berwirid, membaca puisi, atau apapun, tetapi yang ada di hadapan mata kesadaran mereka adalah Allah swt. Maka pada kebanyakan momentum selama ber-maiyah, hampir tak seorangpun di antara mereka yang tidak memejamkan mata. Karena mata wadag hanya sanggup melaporkan penglihatan tentang hal-hal yang sepele: materi, benda-benda, gedung-gedung, lembaran-lembaran uang, kecantikan wanita dan kegantengan lelaki, menara pencakar langit. Dan itu semua bersifat sementara dan sangat gampang hancur.
Kiai Kanjeng Sepuh serak-serak suaranya untuk Allah. Habis bunyinya untuk mencintaiNya. Bernyanyi, membunyikan alat musik, berkeringat, untuk memelihara hubungan baik dengan Allah. Karena Allah sebagai pangasuh, penyantun, tempat bergantung – tidak bisa diperbandingkan dengan polisi, tentara, menteri ekuin, presiden, pemerintahan, konglomerat, distribusi modal atau apapun saja yang dituhankan oleh sangat banyak orang.
Allah berjanji kepada para kekasihnya untuk menjalankan empat fungsi, asalkan oleh para kekasihnya dibeli dengan taqwa dan tawakkal. Peran pertama, Allah sebagai pemberi jalan keluar, solusi atas masalah apa saja : coba sebut satu masalah yang Allah tidak sanggup menyelesaikannya!
Peran kedua Allah sebagai penabur rizqi melalui jalan, cara, metoda dan modus yang semau-mau Dia, sehingga para kekasihNya tidak bisa menduga atau memperhitungkannya. Para kekasih Allah tinggal terima jadi, terima matang – anugerah rejeki yang mereka beli dengan ‘mata uang’ taqwa dan tawakkal. Ah, apa sih taqwa? Angen-angen Allah kapan saja. Menjadikan Allah sebagai tuan rumah batin kita. Tawakkal adalah taqwa yang diperdalam ditancapkan dihunjamkan terus menerus.
Peran ketiga Allah sebagai manager dan akuntan. Kalau berasmu menipis, jangan memfitnah dengan menganggap Allah bersikap acuh tak acuh atas keadaan dapurmu itu. Ia managermu, ia atur nafkahmu, ia jamin penghidupan keluargamu. Engkau cukup menyetor taqwa dan tawakkal.
Peran keempat Allah adalah menjadi humasmu, public relation-mu. Keperluanmu atas seseorang atau suatu pihak, kebutuhanmu terhadap akses ini atau itu, disampaikan oleh Allah kepada yang bersangkutan. Engkau cukup memberi ‘honor’ taqwa dan tawakkal.

No comments:

RENDRA DALAM MAKNA

Muhammad Ainun Nadjib Rendra yg kami cintai Berpindah rumahnya Dari penglihatan dan pengetahuan Menuju rumah sejati abadi Yg bernama makna, ...