Tuesday, December 23, 2008

SELAMATAN

Emha Ainun Nadjib

telah kuikhlaskan rasa sakit itu sebelum terjadi
ketika dan sesudahnya

telah kutaburkan di wajahmu wewangian kembang
dan kupanjatkan doa ampunan bagimu

tapi aku tak berhak mewakili hati rakyatmu
sebab tenaga untuk menegakkan kakiku sendiri ini
kupinjam dari mereka

aku tak memiliki harkat kedaulatan mereka
serta tak kugenggam kuara nurani mereka
yang diterima dari Tuhan

oleh karena itu
jika engkau mengharapkan keselamatan di esok hari
temuilah sendiri ruh mereka

kalau matahari digelapkan
kalau tanah titipan dirampas
kalau udara disedot
kalau malam disiangkan dan siang dimalamkan
kalau hak akal sehat dibuntu
hendaklah siapapun ingat bahwa aku tak berhak menawar
apa sikap Tuhanku atas kebodohan itu
oleh karena itu
jika engkau masih mungkin percaya
bahwa engkau butuh keselamatan esok pagi
ketuklah sendiri pintu Tuhan yang sejak lama
mengasingkan diri dirumah nurani rakyatmu
(1994)

Tuesday, December 2, 2008

KETIKA ENGKAU BERSEMBAHYANG

Emha Ainun Nadjib

Ketika engkau bersembahyang
Oleh takbirmu pintu langit terkuakkan
Partikel udara dan ruang hampa bergetar
Bersama-sama mengucapkan allahu akbar


Bacaan al-fatihah dan surah
Membuat kegelapan terbuka matanya
Setiap doa dan pernyataan pasrah
Membentangkan jembatan cahaya


Tegak tubuh alif-mu mengakar ke pusat bumi
Ruku' lam badanmu memandangi asal-usul diri
Kemudian mim sujudmu menangis
Di dalam cinta Allah hati gerimis


Sujud adalah satu-satunya hakikat hidup
Karena pejalanan hanya untuk tua dan redup
Ilmu dan peradaban takkan sampai
Kepada asal mula setiap jiwa kembali


Maka sembahyang adalah kehidupan ini sendiri
Pergi sejauh-jauhnya agar sampai kembali
Badan diperas jiwa dipompa tak terkira-kira
Kalau diri pecah terbelah, sujud mengutuhkannya


Sembahyang di atas sajadah cahaya
Melangkah perlahan-lahan ke rumah rahasia
Rumah yang taka ada ruang tak ada waktunya
Yang tak bisa dikisahkan kepada siapa pun juga


Oleh-olehmu dari sembahyang adalah sinar wajah
Pancaran yang tak terumuskan oleh ilmu fisika
Hatimu sabar mulia, kaki seteguh karang
Dadamu mencakrawala, seluas 'arasy sembilan puluh sembilan

(Emha Ainun Nadjib/PmBNetDok)

Friday, June 13, 2008

KEBAIKAN DALAM RANGKA

Emha Ainun Nadjib

Sahabat saya yang berhati emas pada suatu larut malam di Malioboro Yogya menjumpai seorang penjual gudeg yang tampak agak menggigil karena kedinginan.

Sahabat saya tahu orang ini berjualan gudeg setiap malam sampai dinihari. Ia membayangkan dalam beberapa tahun paru-parunya akan basah, keseluruhan badannya akan sakit-sakitan, dan akan cepat berangkat tua.

Maka jaket yang ia pakai, langsung ia berikan kepada si penjual gudeg.

Yang sahabat saya tak sadari adalah bahwa penjual gudeg ini seorang gadis, perawan, yang wajahnya cukup manis. Maka esoknya tersebar berita dalam komunitas gudeg Yogya bahwa sahabat saya itu naksir si penjual gudeg, sehingga memberinya jaket dalam rangka melakukan pendekatan.

Si perawan ini sendiri beranggapan demikian sehingga ia merasa sahabat saya ini sedang menjanjikan sesuatu yang akan dikembangkannya lebih lanjut. Maka ketika kemudian sahabat saya tidak melakukan apa-apa lebih lanjut, si perawan merasa kecewa, sakit hati, sementara warga komunitas gudeg yang lain menganggap bahwa sahabat saya ini mempermainkan si perawan gudeg.

Rupanya budaya dalam rangka sudah benar-benar memasyarakat. Kalau seseorang memberi, menyumbang, melakukan kebaikan, dipahami sebagai upaya untuk menggapai sesuatu di luar kebaikan itu.

Kebaikan sukar berdiri sendiri dan murni sebagai kebaikan itu sendiri. Kebaikan selalu dalam rangka, dalam pamrih, dalam niat-niat lain yang tersembunyi, yang belum tentu bersifat baik.
(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (133)/1999/PmBnetDo k)

Wednesday, June 4, 2008

Puisi Patah Hati

adymoralist

Puisi patah hati*

Kalaulah engkau tidak lagi mencintai dia karna benci
Maka jangan sekali-kali mencoba merusak hatimu untuk menuntut keadilan tuhan
Dan kalaulah engkau mencintainya hanya Sekedar atas landasan cinta
Maka janganlah heran engkau mabuk kepayang kehilangan tempat bergantung

Cinta itu adalah kekuatan
Bukanlah tempat engkau bergantung segalanya
Manfa'atnya raahatu-l-qulub Bukan asshamad
Memberi dengan tulus, bukan berarti Harus menerima balasan

cinta oh cinta...

engkau disatukan dengan ijab dan qabul
terbina dalam rumah tangga penuh ridha dan kasih sayang
mawaddah, sakinah dan barakah dari Allah
wa jama'a bayna-kuma fi khair


*bab thalaq :d

Wednesday, April 23, 2008

BERDZIKIR HAMBAKU, BERDZIKIR

Emha Ainun Nadjib

Kalian berdzikir "Subhanallah"
Maha Suci Allah, Maha Suci Allah
Apa benar kalian mensucikan Aku?
Apa benar kehidupan kalian mensucikan Aku?
Apa benar watak dan perilaku kalian, kebudayaan
dan kemajuan bangsa kalian - mensucikan Aku?

Kalian berdzikir "Alhamdulillah"
Segala puji bagi Allah, Segala puji bagi Allah
Apa benar perekonomian kalian memuji Aku?
Apa benar gedung-gedung kalian, kantor-kantor kalian,
pertimbangan dan keputusan kalian, kasih dan sepak
terjang kalian
- memuji Aku?

Kalian berdzikir "Wa lailaha illallah",
Tiada tuhan selain Allah
Hai hamba-Ku, apa benar Akulah yang kalian tuhankan?
Apa benar Aku faktor primer dalam bagan strategi
sejarah kalian?
Apa benar Aku yang nomor satu di dalam kerangka akal
dan susunan pikiran kalian
Apa benar cinta kalian mendasar kepadaKu?
Apa benar Aku sedang menarik hati kalian,
dibanding uang, keuntungan dan kekuasaan dunia?

Kalau Aku ikut Kontes Idola, apakah kalian kirim sms
untuk memenangkan
Aku?
Kalian berdzikir "Allahu Akbar"
Allah Maha Besar, Allah Maha Besar
Wahai hamba-Ku, apa tanda kebesaranKu
di negeri penyembah berhala yang kalian
bangga-banggakan ini?
Di bagian mana dari kebudayaanmu,
Di sebelah mana dari langkah politikmu
Di sudut mana dari gedung-gedung megah industrimu
Yang mencerminkan keunggulanKu?

Kau lakukan kedhaliman di sana-sini
Merata di seantero negeri
Kedhaliman yang samar sampai yang transparan
Kedhaliman struktural, sistemik
Bahkan kedhaliman yang telanjang dan kasat mata
Kedhaliman bahkan kepada dzatKu
Kepada hakekat dan syariat eksistensiKu
Kemudian kalian ucapkan "Allahu Akbar"
Tanpa sedikitpun rasa malu

Bahkan masjid-masjidmu, yakni rumah-rumah suciKu
Kalian pakai untuk menendangku
Sebagian dari kalian membangun rumahKu
dengan sisa-sisa uang perampokan struktural
Sebagian dari kalian menegakkan rumahKu
dengan biaya hasil mengemis-ngemis di tengah jalan

Kalian mengemis atas namaKu,
Kalian melantikku sebagai Sang Maha Pengemis
Di masjid-masjid kalian tertulis : Allah yang Maha
Fakir Miskin.
Oleh karena itu setiap orang perlu menaruh rasa belas
kasihan kepadaKu
Dan jika datang seorang koruptor membereskan semua
pembiayaan masjid itu,
dialah yang kau puji-puji dan kau sanjung-sanjung
 

seperempat abad tidak lah lama…

adymoralist

Ketika engkau terlahir menangis menatap dunia maka orang sekitarmu tersenyum bahagia dengan kehadiranmu, mungkinkah ketiadaanmu menjadikan kenangan indah yg tak dapat dilupakan dengan nilai-nilai yang bermanfa'at engkau tabur tumbuh subur bagi ummat manusia umumnya.

Terlahir lalu meninggalkan bukanlah sebuah fenomena yang singkat dari sebuah kehidupan. Banyak tingkatan masa yang telah engkau enyam sehingga semua itu adalah pembelajaran dalam hidupmu. Kini masa remaja sedang engkau jalani walau kata jodoh juga blom terealisasikan. Apakah mesti manunggu senja untuk menjemput itu.

Tentunya masih teramat banyak potensi dirimu yang dapat engkau salurkan sehingga menghasilkan sebuah nilai-nilai yang lebih konstruktif bermafa’at bagi dirimu dan orang lain umumnya.

Terlebih lagi dengan umurmu yang menginjak seperampat abad ini justru potensi syukurmu harus lebih bertambah. Untuk lebih mengaktifkan kembali seluruh fungsi organ tubuhmu. Untuk selalu mencari ilmu selalu menganalisis selalu memaknai selalu memiliki tradisi untuk menemukan makna dan nilai disetiap benda disetiap yang didengar disetiap yang dilihat dan disetiap yang dilakukan.

Sekalipun dalam perjalanan panjangmu banyak rintangan dan masalah yang menimpamu maka bersabarlah karna sebesar apapun masalah itu menindih dan menimpamu insyaAllah akan selesai akan beres akan meleleh asalkan engkau bergabung melebur didalam kuasa dan kasih sayang tuhanmu yang maha besar.

Tuesday, April 22, 2008

etika Cinta

adymoralist

etika Cinta

aku bukanlah siapa-siapa baginya
tapi dia bagiku adalah cinta
ketika engkau datang kepadanya juga dengan nama cinta
tiada hak bagiku untuk menghalangimu
karna aku hanya mampu dan baru sanggup untuk mencintai
tidak lebih . . .

tetapi ketika cintamu adalah pemaksaan baginya
maka itu adalah tanggung jawabku sebagai manusia, bukan lelaki
karna aku ingin berbuat untuk cinta bukan atas dasar kelaki-lakian
tapi atas nama manusia . . .

karna aku juga tidak mengerti apa itu pacaran
yang ku tau adalah hati ini mencintainya
kalaupun engkau mengucapkan selamat bagiku
itu hanyalah etika sesama kita atas nama sahabat
dan na’uzubillah bila engkau diam-diam sopan menikam dari belakang.


Tuesday, April 15, 2008

Jendela Hati Buat Prajurit Sejati(i)

Emha Ainun Nadjib,10 April 2008

Bukan Jabatan, melainkan Jiwa

Menjadi tentara tidak sama dengan menjadi Bupati, Gubernur, Menteri atau Presiden.

Tentara itu jiwa, Presiden itu jabatan.

Jabatan Presiden akan ditinggalkan dan meninggalkan (dengan paksa) orang yang menyandangnya, sedangkan ketentaraan adalah jiwa yang menyatu dengan manusianya, adalah ruh yang tak bisa dicopot kecuali oleh pengkhianatan dan ketidaksetiaan, adalah kepribadian yang mendarah daging sampai maut tiba.

Jabatan sangat disukai oleh manusia yang menyandangnya, tetapi sangat bisa jadi jabatan diam-diam tidak menyukai manusia yang menyandangnya. Tetapi jiwa ketentaraan adalah cinta dan kebanggaan yang menangis jika manusianya mengkhianatinya, dan manusia yang mengkhianati jiwa ketentaraan itu tidak memiliki kemungkinan lain kecuali terjerembab ke jurang kehancuran.

Orang dengan jabatan akan mengalami post power syndrome, tetapi orang dengan jiwa ketentaraan tidak mengenal kata ‘post’, tidak mengenal ‘bekas’ atau mantan. Tentara boleh tidak bertugas lagi, boleh menjadi veteran, tetapi itu hanya urusan administrasi dan birokrasi formal, sedangkan kepribadian ketentaraannya tidak bisa dikelupas dari manusianya meskipun oleh kematian.

Dengan pemahaman seperti itu, maka andalan utama Prajurit dalam bermasyarakat bukanlah jabatan dan kekuasaan, bukanlah kegagahan dan kekuatan, melainkan kesetiaan dan sikap yang penuh perhatian kemanusiaan. (selengkapnya)

(Emha Ainun Nadjib,10 April 2008, PmBNetDok)

Friday, April 11, 2008

!!!

gw pengen nulis lagi ntar , mudah2an hehehe

makasih dah ngingetin :D tapi ntar !

Tuesday, March 11, 2008

Maha Satpam

Emha Ainun Nadjib

Tanya jawab pengajian itu menjadi hangat. Tak disangka tak dinyana anak muda
berpeci yang lehernya berkalung sajadah itu mendadak meningkatkan nada
suaranya.

"Saya sangat kecewa dan memprotes keras mengapa Bapak bersikap sedemikian lunak kepada orang-orang yang datang ke kuburan untuk minta angka-angka buntutan!" ia menuding-nuding. "Itu jelas syirik. Saya sebagai warga organisasi Islam yang sejak kelahirannya memang bermaksud memberantas segala takhayul, bidah, khurafat, dan syirik, akan terus memberantas gejala-gejala semacam itu dalam masyarakat kita sampai titik darah penghabisan! "

Bapak ustadz terkesima.

Isi pemikiran pemuda itu tidak aneh, meskipun bukan tidak menggelisahkan.
Namun "semangat juang"-nya ini! Apakah ia baru saja membaca sajak Chairil
Anwar "Aku" atau "Persetujuan dengan Bung Karno" sehingga voltase darahnya
meninggi? Tapi marilah bersyukur. Ini yang namanya sukses pewarisan nilai
dan semangat perjuangan dari generasi yang satu ke generasi yang lain.
Proporsi di mana dan untuk soal apa semangat itu mesti diterapkan, adalah
soal kedua.

"Adik manis, maafkan kalau saya memang khilaf," bapak ustadz berkata dengan
lembut, "Tapi saya berharap sesungguhnya aspirasi kita tidak terlampau
berbeda. Saya juga tidak bermaksud menularkan kebiasaan orang-orang tua
untuk bersifat terlalu dingin terhadap gejala-gejala. Tetapi, nyuwun sewu,
saya melihat ada sesuatu yang tidak pada tempatnya. Pernyataan Anda tadi
ibarat memasukkan sambal ke dalam es dawet ..."

Para jamaah tertawa, meskipun pasti mereka belum mengerti maksudnya.

"Syirik ya syirik, tapi orang mau masuk kuburan kan macam-macam maunya. Ada yang mau mencuri tengkorak, ada yang karena pusing bertengkar terus dengan istrinya yang selalu meminta barang-barang seperti yang dibeli tetangganya.
Terus terang saya juga sering masuk kuburan dan nyelempit di balik gerumbul-gerumbul karena sangat jenuh oleh acara macam yang kita
selenggarakan malam ini, jenuh diundang ke sana ke mari untuk sesuatu yang
sebenarnya tidak jelas, jenuh meladeni pertanyaan-pertanya an yang khas kaum
muslim abad ke-20 dari soal 'apa hukum merangkul rambut' sampai 'memandang
wanita itu zina atau tidak', atau jenuh oleh pikiran-pikiran puber yang akrobat pikiran intelektualnya over-dosis. Kejenuhan itu sendiri sunnatullah atau hukum alam. Tuhan mengizinkan kita untuk merasa jenuh pada saat-saat tertentu sebagai bagian dari peran kemanusiaan. Apakah buang-buang jenuh di
kuburan itu syirik?"

"Bukan itu maksud saya!" teriak sang pemuda, "Saya berbicara tentang orang
yang minta-minta di kuburan."

"Baiklah," lanjut bapak ustadz. "Syirik itu letaknya di hati dan sikap jiwa, tidak di kuburan atau di kantor pemerintah. Sebaiknya kita jangan gemampang, jangan terlalu memudahkan persoalan dan gampang menuduh orang. Saya terharu Anda bersedia memerangi syirik sampai titik darah penghabisan, namun saya juga prihatin menyaksikan Anda bersikap begitu sombong kepada orang miskin ..."

"Apa maksud Bapak?" sang pemuda memotong.

"Bikinlah proposal untuk minta biaya meneliti siapa saja yang sebenarnya suka mendatangi kuburan, terutama yang menyangkut tingkat perekonomian mereka. Kita memang tahu para pejabat suka berdukun ria dan para pengusaha mendaki Gunung Kawi, tapi siapakah pada umumnya yang berurusan dengan kuburan untuk menggali harapan penghidupan? Saya berani jamin kepada Anda bahwa 90% pelanggan kuburan adalah orang-orang yang kehidupan ekonominya kepepet. Orang seperti Anda ini saya perhitungkan tidak memerlukan kuburan
karena wesel dari orangtua cukup lancar. Di samping itu syukurilah posisi sosial Anda. Anda termasuk di antara sedikit anak-anak rakyat yang beruntung, memiliki peluang ekonomi untuk bisa bersekolah sampai perguruan tinggi. Karena Anda sekolah sampai perguruan tinggi maka Anda menjadi pandai dan mampu mengelola kehidupan secara lebih rasional. Harapan Anda untuk menjadi pelanggan kuburan termasuk amat kecil. Anda akan menang bersaing meniti karier melawan para tamatan sekolah menengah, para DO atau apalagi para non-sekolah. Kalaupun kemudian menjumpai persoalan-persoalan umum yang
menyangkut ketidakadilan ekonomi, misalnya, Anda bukan merencanakan berkunjung ke makam Sunan Begenjil, melainkan bikin kelompok diskusi yang
memperbincangkan kepincangan ekonomi dan kemapanan kekuasaan politik ..."

Seperti air bah kata-kata bapak ustadz kita meluncur.

"Kalaupun Anda ogah terlibat dalam jajaran birokrasi kekuasaan atau tempat-tempat lain yang Anda perhitungkan secara sistematik mendukung kemapanan itu, Anda masih mempunyai peluang non-kuburan, misalnya, bikin badan swadaya masyarakat. Langkah pertama gerakan ketidaktergantungan itu ialah merintis ketergantungan terhadap dana luar negeri di mana Anda bisa numpang makan, minum, merokok, dan membeli jeans baru. Langkah kedua, meningkatkan kreativitas proposal agar secara pasti Anda bisa memperoleh nafkah dari gerakan itu. Dan langkah ketiga, menyusun kecanggihan lembaga Anda sedemikian rupa sehingga Anda sungguh-sungguh bisa mengakumulasikan kekayaan, bikin rumah, beli mobil, dan memapankan deposito. Juklak saya untuk itu adalah umumkan ide-ide sosialisme perekonomian sebagai komoditi kapitalisme perusahaan swadaya masyarakat Anda. Kemiskinan adalah ekspor non-migas yang subur bagi kelompok priyayi pembebas rakyat di mana Anda bisa bergabung .."

Bapak ustadz kita sudah tak terbendung lagi.

"Dengan demikian Anda bisa selamat dari budaya kuburan sampai akhir hayat.
Hal-hal semacam itu tidak bisa dilakukan oleh orang-orang miskin yang hendak
Anda berantas syiriknya itu. Mereka tak mampu membuat proposal, takut kepada Pak Camat dan Babinsa, karena bagi mereka lebih mengerikan dibandingkan dengan hantu-hantu kuburan. Satu-satunya kesanggupan revolusioner yang masih tersisa pada orang kecil yang melarat adalah minta harapann secara gratis ke kuburan."

Suasana pengajian menjadi semakin senyap.

"Bapak ini ngomong apa?" potong sang pemuda lagi.

"Kepada siapa dan apa sajakah Allah cemburu pada zaman ini? Siapakah atau
apakah yang dituhankan orang di negeri Anda ini? Apa yang didambakan orang
melebihi Tuhan? Apa yang dikejar diburu melebihi Tuhan? Apa yang ditakuti orang melebihi Tuhan? Apa yang sedemikian menghimpit memojokkan menindih orang seolah-olah berkekuatan melebihi Tuhan? Apa dan siapa yang mendorong orang tunduk, patuh, dan loyal sepenuh hidup kepadanya melebihi Tuhan? Apa yang memenuhi pikiran orang, memenuhi perasaan dan impian orang lebih dari keindahan Tuhan? Lihatlah itu, pikirkan dan terjemahkan melalui pikiran kebudayaan Anda, pikiran sosial Anda, pikiran politik Anda, pikiran ekonomi Anda, perhitungan struktural Anda ..."

Suara bapak ustadz kita menjadi agak gemetar meskipun nadanya meninggi.

"Beranikah Anda berangkat memberantas syirik-syirik besar yang dilatari oleh kekuasaan, senjata, dan fasilitas? Beranikah Anda berperang melawan diri Anda sendiri untuk mengurangi sikap gemagah kepada orang-orang lemah? Sanggupkah Anda mengalahkan obsesi kehidupan Anda sendiri untuk merintis peperangan-peperang an yang sedikit punya harga diri?"

Napas mulai agak tersengal-sengal.

"Anda begitu bangga menjadi satpam kehidupan orang lain. Bahkan Anda tampak bermaksud menjadi maha satpam yang memberantas syirik sampai titik darah yang terakhir. Tetapi Anda menodongkan laras senjata Anda ke tubuh semut-semut yang terancam oleh badai api sehingga menyingkir ke kuburan sepi. Itu karena mata pengetahuan Anda tak pernah dicuci kecuali oleh ulama-ulama yang memonopoli kompetisi pemikiran keagamaan, padahal mereka begitu malas mencuci mata ummatnya, kecuali untuk soal-soal yang menyangkut kepentingan posisi mereka. Anda sudah tahu wajib, sunat, halal, makruh, dan haram, tetapi itu hanya diterapkan untuk hal-hal yang wantah. Anda hanya bertanya orang sudah salat lohor atau belum, orang ke kuburan atau tidak, si keponakan sudah pakai jilbab atau belum, mengapa Cut Nyak Dien mengelus-elus paha Teuku Umar padahal itu film citra Islam. Anda tidak merintis penerapan kualifikasi hukum lima itu untuk persoalan-persoalan yang lebih luas, Anda tidak pernah mempersoalkan
bagaimana sejarah politik perekonomian dari tikar plastik yang setiap hari Anda pakai sembahyang. Anda marah kenapa Cristine Hakim tidak pakai jilbab padahal ia muslimah, tetapi telinga Anda tuli terhadap kasus penggusuran, terhadap proses pembodohan lewat jaringan depolitisasi, terhadap proses pemiskinan, terhadap ketidakadilan sosial yang luas. Anda tidak belajar tahu apa saja soal-soal yang kualitasnya wajib dalam perhitungan makro struktural. Anda hanya sibuk mengincar orang masuk kuburan. Anda merepotkan diri mengurusi sunah-sunah dan tidak acuh terhadap kasus-kasus yang wajib respons sifatnya ..."

"Pak! Mengapa jadi sejauh itu ...?" sahut sang pemuda.

"Dengar dulu, anak muda!" tegang wajah sang bapak. "Itu yang menyebabkan Anda tidak memiliki perhitungan yang menyeluruh untuk akhirnya menemukan hakikat kasus syirik yang sebenarnya. Anda hanya sanggup melihat seseorang mencuri. Anda hanya tahu bahwa mencuri itu hukumnya haram, padahal melalui relativitas konteks-konteks, pencuri itu bisa halal sifatnya ..."

"Apa-apaan ini Pak?" sang pemuda nyelonong lagi.

"Kita ini dibesarkan dalam kekalahan-kekalahan . Dalam rasa ketidakmungkinan
menang, subyektivitas kita tumbuh subur. Kalau kita bercermin dan menjumpai
wajah kekalahan di biliknya, kita ciptakan kemudian c ermin yang mampu
menyodorkan halusinasi kemanganan kita. Kalau kita tak punya biaya naik
haji, naiklah kita ke puncak Gunung Bawakaraeng dan merasa telah naik haji.
Kalau tak sanggup perang melawan kekuatan manusia, kita cari tuyul untuk
kita taklukkan. Kalau tak ada juga peluang untuk tampil di panggung sejarah,
kita berduyun-duyunlah ke panggung narkotik kebudayaan di bidang ndangdut,
diskotik si boy, atau mengangkat seorang pencoleng menjadi dermawan sehingga hati terhibur. Kalau risi berpegang pada pilar-pilar kufur dan tak sanggup bersandar pada udara, maka melianglah kita pada lubang sempit pengetahuan keagamaan kita yang muallaf dan nadir. Kita tak kuat naik gunung, kita susun gunung-gunung dalam tempurung. Kita menjadi "negara" dalam pesta syariat dangkal ummat di sekeliling kita.. Kita mengawasi muda-mudi yang berboncengan motor, kita menelepon pasien-pasien kita di pagi buta untuk mengecek apakah ia sudah salat subuh, kita sembahyang jamaah sambil melirik
apakah orang di samping kita sudah cukup khusuk sembahyangnya. Kita menjadi puritan, menjadi "manusia amat lokal". Kita mendirikan kekuasaan baru di mana kita adalah penguasanya ..."

Sang pemuda tak bisa tahan lagi, "Maaf Pak! Berilah saya sedikit peluang ..."

Tapi air bah terus tumpah ke bumi.

(Emha Ainun Nadjib/"Slilit Sang Kiai"/Graffiti/ PmBNetDok) .

Friday, February 29, 2008

Buat Saudaraku dimanapun dikau berada

adymoralist

What U feel , after watching it,
Sungguh luar biasa ketulusan hati manusia. Kejujuran hati tak dapat untuk dipungkiri, sekejam apapun itu manusia. Tapi ia masih memiliki filter yang sangat tajam dan dalam yang tak dapat dijangkau oleh akal. Ia dapat mentransfer nilai-nilai kebenaran yang tak bisa dihasilkan oleh akal.


Dengan hati engkau juga dapat berkomunikasi dengan tuhanmu. Dalam renungan heningmu, engkau bisa mencoba flashback kembali tentang hidupmu dengan tawa, senyum dan linangan airmata.


Dendam yang membara, emosi yang tak terkendali, suka berburuk sangka, atau segala hal-hal yang bernilai negative dapat engkau olah dengan hati menjadi sebuah hikmah.


Buat suadara-saudariku kecil atau besar adik atau kakak ketika engkau telah galau dalam kebuntuan. Aku yakin engkau mencari hal-hal yang sejati, namun yakinlah semua itu ada disisi Sang Pencipta. Temukanlah kesejatian itu dalam kesunyiamu bersamaNya. Dan sangat bersyukur bila engkau dapat menghadirkan-Nya di setiap hela nafasmu.


"For U. I relly relly love U whereever U'r. I wish, nostalgic can be with U in helping"


Thursday, February 28, 2008

Kenduri Cinta

Emha Ainun Nadjib

Kata ‘cinta’ dimaknai seluas mungkin, komprehensif dan holistik. ‘Clean government’, misalnya adalah manifestasi cinta kemanusiaan, universal, dalam skala nasional, dimana sejumlah orang yang digaji oleh rakyat karena dipercaya untuk menjalankan mekanisme penyejahteraan seluruh rakyat - berkewajiban menciptakan pemerintahan yang bersih. Pemerintahan yang korup adalah pengingkaran atas profesionalisme politik, sekaligus pengkhianatan cinta. Kepala negara atau Wakil Rakyat ‘diberi ruang’ oleh rakyat dengan tugas agar mereka menciptakan ‘ruang’ bagi rakyat. Jika keduanya hanya berperan merepotkan rakyat, hanya menjadi ‘perabot’ dimana rakyat yang harus terus menerus menampung perilakukanya dan memaklumi kesalahan-kesalahan – itu adalah bentuk disharmoni cinta. Yang berhak menjadi ‘perabot’ dalam kehidupan, yang berhak sepenuhnya diakomodasikan tanpa mengakomodasikan, hanya bayi. Dengan kata lain, jangankan pemimpin masyarakat, atau apalagi pengurus negara yang dibayar rakyat, sedangkan manusia biasa saja jangan menjadi seperti bayi. Manusia adalah subyek yang mengatasi masalah, bukan yang justru menjadi masalah...

Wednesday, February 27, 2008

Kadar Kesetiaan

Emha Ainun Nadjib

Sedemikian tinggi dan mendalamkah seorang hamba Allah mesti
terbang dan melayang ke semesta ilmu dan kemuliaan? Tidakkah
manusia bisa bersikap wajar dan biasa-biasa saja? Ataukah itu
alibi untuk memaafkan kelemahan diri, keterbatasan, dan
kekurangannya dalam melakukan sesuatu?

Jangan dengarkan suaraku, karena suaraku buruk. Dengarkanlah
suara Tuhan...

Kalau suaraku buruk, orang justru akan sangat mengingatnya
karena tersiksa. Kalau suaraku agak bagus, orang mengingatnya,
tapi dengan kadar yang lebih rendah dibanding ingatan terhadap
suara buruk -- sebab kecengengan manusia terhadap penderitaan
cenderung lebih besar dibanding rasa syukurnya terhadap
kegembiraan.

Dengan ungkapan dan jawaban saya itu kenapa kau terpaku pada
suaraku? Di situlah letak ketidakberhasilan yang saya maksud.
Orang menikmati terangnya lampu tanpa mengingat kabel listrik.
Orang menikmati makanan enak di warung dan tidak bertanya
siapa nama orang yang memasaknya di dapur. Penyanyi, pembaca
puisi, qari, pelukis, muballigh, penyampai ilmu, pembawa
hikmah, atau fungsi-sungsi nilai apa pun, hanyalah 'kabel
listrik'.

Tidaklah senonoh kita menuntut orang untuk mengagumi kita
sebagai kabel listrik, sebab yang sampai ke mereka adalah
cahaya. Tukang listrik jangan kasih dan taruh lilitan
kabel-kabel ke wajah orang. Kita para seniman, ulama, pengurus
negara, pekerja sosial, fungsionaris-fungsionaris sejarah, di
wilayah mana pun dari kehidupan umat manusia -- wilayah mana
pun dari kehidupan umat manusia -- hanyalah pengantar cahaya,
bukan cahaya itu sendiri. Seperti rembulan, kita hanya
memantulkan cahaya matahari agar menimpa bumi. Terkadang kita
malah merekayasa berlangsungnya gerhana matahari untuk
mengantarkan kegelapan, tetapi sambil memobilisasi orang untuk
mengagumi kita.

Seandainya pun sebagai rembulan kita setia memantulkan rahmat
Tuhan ke bumi kehidupan manusia, yang kita andalkan untuk
mendapatkan nilai bukanlah cahaya itu sendiri, melainkan kadar
kesetiaan.

Tuesday, February 26, 2008

Sayap-Sayap Kerbau

Emha Ainun Nadjib

Di tengah padang yang terbuka luas, dua orang musafir berdebat tentang sebuah
titik hitam yang tampak nun jauh di depan. Yang seorang menya¬takan, titik itu
tak lain seekor kerbau. Sementara lainnya sangat meyakini, itu seekor banteng.
Riuh rendah mereka berdebat dengan argu¬mentasinya. Karena tidak ada titik temu,
satu-sa¬tunya jalan yang mereka sepakati adalah bersege¬ra mendatangi titik itu
ke tempatnya.
Maka, mereka pun berjalan menyusuri pa¬dang, sambil terus berdebat, beradu
wacana, mempertandingkan acuan, referensi dan penga¬laman. Sampai akhirnya
mereka hampir tiba di titik yang ditu¬ju. Namun, sebelum mereka melihat persis
apa gerangan ia, titik itu tiba-tiba melesat, terbang dari tempatnya,
melayang-layang ke angkasa.
"Burung!'; kata salah seorang, "Apa saya bilang:' "Tidak bisa!" sahut lainnya.
Keduanya berlari mendekat, meskipun si benda terbang itu melesat makin jauh dan
tinggi. Akhirnya, mereka berhenti de¬ngan sendirinya dengan napas
terengah-engah.
"Kerbau!" kata orang kedua.
"Kerbau bagaimana?" orang pertama membantah, "Sudah jelas benda itu bisa
terbang, pasti burung!"
"Kerbau!" orang kedua bersikeras, "Pokoknya kerbau! Mes¬kipun bisa terbang,
pokoknya kerbau!"
Saya doakan dengan tulus ikhlas semoga Allah melindungi Anda dari kemungkinan
memiliki teman, saudara, istri, reka¬nan kerja, direktur, bawahan, pemerintah,
penguasa, pemimpin atau apa pun, yang wataknya seperti si pengucap kerbau itu.
Kalau nyatanya Anda telanjur memiliki sahabat kehidupan yang habitat mentalnya
seperti itu, saya hanya bisa menganjur¬kan agar Anda bersegera menyelenggarakan
ruwatan bagi nasib Anda sendiri. Atau, tempuhlah cara yang lebih relegius: puasa
empat puluh hari, salat hajat tiap malam, mencari wirid-wirid paling sakti yang
memungkinkan Anda terlindung oleh para malaikat Allah dari spesies manusia
semacam itu.
Cobalah kata "kerbau" itu Anda ganti dengan kata lain. Um¬pamanya reformasi.
Kata "terbang" bisa Anda ganti dengan kata lain, yang relevan terhadap
reformasi. Ucapkan kata-kata sema¬cam tokoh kita itu: "Meskipun saya
mempertahankan agar sega¬la sesuatunya harus tetap mapan, stabil dan bun¬tu,
tapi yang penting pokoknya saya ini pendu¬kung reformasi!" ,
"Meskipun saya bisa sampai ke wilayah yang serba menggiurkan ini, serta duduk di
kursi yang penuh wewangian ini berkat proses dan mekanis¬me nepotisme dan
feodalisme, tapi yang penting pokoknya saya antinepotisme.”
"Meskipun terus terjadi ketertutupan, pembungkaman dan pemusnahan, tapi pokoknya
ini keterbukaan dan demokrasi:'
"Meskipun saya berbuat tidak adil, tapi po¬koknya saya anjurkan agar
saudara-saudara berbuat adil:' "Meskipun habis-habisan saya melanggar hukum,
tapi po¬koknya saya ini penegak hukum"
"Meskipun sebagai pihak yang diamanati oleh rakyat dan digaji oleh rakyat, saya
tidak pernah minta maaf kepada rakyat atas terjadinya kebangkrutan negara dan
krisis total, tapi yang penting pokoknya saya bukan pemerintah yang buruk:'
"Meskipun kita kandas di landasan, tapi yang penting po¬koknya ini adalah
tinggal landas:'
"Meskipun harga bukan hanya naik tapi lompat galah, yang penting pokoknya ini
bukan kenaikan melainkan penyesuaian.”
Memang tidak ada makhluk Tuhan yang cakrawala ke¬mungkinannya melebihi manusia.
Manusia adalah sepandai¬-pandainya makhluk, namun ia bisa menjadi
sedungu-dungunya hamba Tuhan. Ular saja mengerti persis kapan ia harus makan,
seberapa banyak yang sebaiknya ia makan, serta kapan ia mesti berhenti makan.
Sementara manusia makan kapan saja, me¬nangguk keuntungan tak terbatas
sebanyak-banyaknya - sean¬dainya ia tak dibatasi oleh maut.
Manusia itu paling lembut, tapi ia juga yang paling kasar. Manusia bisa mencapai
kemuliaan kepatuhan kepada Tuhan, namun ia juga mampu melorot ke titik paling
nadir untuk ban¬del, mokong, mbalela dan makar. Untunglah, Allah itu sendiri
adalah khoirul makirin: sebaik-baiknya pelaku makar.
Manusialah mahluk Allah termulia. Ahsani taqwim. Tapi ia juga yang paling hina
dan paling rendah. Asfala safilin.
Doa kita hanya sekalimat: "Ya Allah, makhlukMu yang asfa¬la safilin, tolong
jangan izinkan punya kekuasaan dan meme¬gang senjata. Amin."

Monday, February 25, 2008

Pencerahan dan Ketercerahan

Emha Ainun Nadjib

Kalau Anda orang Islam alangkah indahnya kalau serajin dan
sedalam mungkin Anda menggali nilai-nilai Islam untuk Anda
kontribusikan kepada seluruh bangsa kita, agar proses-proses
demokrasi, keadilan dan penyejahteraan yang kita lakukan
bareng-bareng ini semakin effektif.

Di kulit luar Al-Qur'an bagian belakang, biasanya ditulis
firman Allah La yamassuhu illal muthahharun. Biasanya
ustadz-ustadz kita mengartikan bahwa kalau kita sedang dalam
keadaan batal dan belum berwudlu, maka dilarang menyentuh
Al-Qur'an. La itu tidak atau jangan. Yamassu itu menyentuh. Hu
itu kata ganti untuk Al-Qur'an. Illa itu kecuali. Muthahharun
itu orang-orang yang dalam keadaan suci. Sekali lagi, sebelum
pegang Qur'an, kita berwudlu dulu, supaya muthahhar.

Itu tidak salah, dan bagus untuk pendidikan dasar etika
vertikal keislaman. Tapi sebaiknya tidak tertutup bagi
pengembangan interprestasi. Misalnya, kita ambil dua hal. Yang
pertama, yang disebut Qur'an dalam tafsir dasar di atas
sebenarnya adalah mushaf. Terdiri dari kertas dan goresan
tinta. Itu yang jangan dipegang kalau dalam keadaan batal.
Pastilah Qur'an bukan kertas dan tinta. Qur'an adalah suatu
rumusan dan tuturan firman, yang bersifat rohaniah
(intelektualitas itu rohaniah), yang diantarkan oleh bahasa
atau peralatan budaya manusia melalui kertas dan tinta. Dulu
malaikat Jibril tidak datang dari langit kepada Muhammad SAW.
membawa berkas buku, melainkan membawa titipan ucapan Tuhan.

Ketika dikatakan 'Bacalah !', bukan berarti Jibril menyodorkan
kertas yang ada tulisannya dan Muhammad disuruh membaca.
'Membaca' di situ memiliki pengertian yang sangat-sangat luas.
Intinya: membaca kehidupan. Utsman ibn Affan yang kemudian
mempelopori pe-mushaf-an rohani Qur'an itu.

Jadi mushaf adalah suatu sarana budaya atau fasilitas
teknologi yang mengantarkan Qur'an kepada manusia. Maka, la
yamassuhu, tidak (bisa, boleh) menyentuh, sasarannya bukan
terutama mushaf, melainkan substansi Qur'an itu sendiri. Oleh
karena itu pengembangan interpretasi atas ayat Allah yang
menghiasi kulit belakang mushaf itu, bisa begini: Kalau jiwamu
tidak berada dalam keadaan muthahhar, enlighted, tersucikan,
maka engkau tidak berada di dalam koridor hidayah dan fungsi
Qur'an bagi kehidupanmu.

Katakanlah ada beberapa fungsi Qur'an, umpamanya: ia bukan
hanya informasi, tapi juga informasi yang pasti benar. Ia
bukan sekedar pemberitahuan, tetapi petunjuk. Ia bukan sekedar
berita, tapi kabar gembira. Ia bukan hanya penuturan ilmu,
tapi juga rahmat. Ia bukan hanya perintah, tapi rahasia ilmu.
Ia bukan hanya ketegasan kebenaran, tapi juga cinta dan
kedamaian yang matang. Ia bukan hanya selebaran tentang iblis
dan setan, tapi juga rangsangan eksplorasi fisika, biologi,
astronomi. Serta banyak lagi.

Manusia yang pikirannya skeptis terhadap Qur'an, yang hatinya
blocked-out dari firman pamungkas Allah itu, yang sikap
hidupnya mempergelap dirinya sendiri, logis kalau tidak
memperoleh sentuhan apapun dari multi-probabilitas rahmat
Allah melalui Qur'an. La yamassuhu illal muthahharun. Tidak
memperoleh apa-apa darinya kalau menolak enlightment.

Dan kalau memang kita memilih yang ini, tak ada masalah bagi
Tuhan, Muhammad atau siapa pun saja. Allah tidak menangis,
Muhammad tidak merugi, Islam tidak merasa kurang suatu apa.
Sebab Islam tidak akan mendapatkan risiko apa-apa, ia bukan
manusia yang harus bertanggung jawab kepada sumbernya.

Sunday, February 24, 2008

Maaf Aku Tak Menggugatmu

Emha Ainun Nadjib

Mohon maaf beribu maaf aku tak menggugatmu
Bukan sekedar karena aku tahu kekuatan gugatanku jauh lebih kecil dibanding
kekuatanmu untuk tidak mendengarku serta dibanding kekukuhanmu untuk tidak akan
mengubah dirimu sebagaimana yang kudambakan seandainya aku menggugatmu
Tetapi juga karena engkau jauh lebih tahu tentang hal-hal yang aku gugatkan
dibanding kadar pengetahuanku -- sekurang-kurang nya demikianlah anggapan yang
hidup di dalam dirimu

Mohon maaf beribu maaf aku tidak mengingatkanmu, dan tidak akan mengkritikmu di
bidang apapun saja sampai kapanpun saja
Bukan sekedar karena ilmumu jauh lebih mumpuni dibanding ilmuku yang hanya
telanjang terhadap kenyataan
Juga bukan hanya karena pikiranmu sudah kukuh dan hatimu sudah bulat atas segala
yang engkau inginkan
Tetapi juga karena engkau toh sudah besar, sudah dewasa, sudah matang
segala-galanya sehingga pendapat Tuhanpun sama sekali tidak engkau butuhkan

Mohon maaf beribu maaf aku tidak menuntutmu, aku tidak melakukan demonstrasi ke
kantormu, aku tidak mengeluarkan statemen atau pernyataan apapun, juga tidak
menghimbau atau melakukan tekanan-tekanan atas segala macam tindakan dan
perilakumu
Mohoh maaf beribu maaf keputusan itu kuambil semata-mata karena aku sungguh
tidak akan meminta apa-apa darimu, tidak mengharapkan apapun dari sepak
terjangmu, tidak memimpikan peranmu atas hidupku, tidak menunggu perwujudan
janji-janjimu, tidak mencantolkan nasibmu di pundakmu, tidak akan menadahkan
tangan atau
mengemis setetes airpun dari kehebatanmu
Mohon maaf beribu maaf meskipun engkau besar meskipun engkau penguasa dunia
tetapi bukan engkau yang menciptakan hidupku, bukan engkau yang menjadi sumber
rejekiku, bukan engkau yang menjaga siang malamku, bukan engkau pemilih rahasia
kehidupan, bukan engkau Allahusshomad-ku

17 Oktober 1999.


Tuesday, February 19, 2008

mencari yang sempurna

adymoralist

Sepi sunyi sendiri menulusuri gua kehidupan di malam hari. Sesekali engkau mencoba mempercepat langkahmu untuk meraih Cahaya menemanimu. Dengan penuh janji hati engkau mencoba mensyukuri akan kehadirannya.

Namun ternyata itu adalah Kunang-kunang yang tak bisa terus menemanimu. Dengan sisa kekuatan yang ada engkau terus berharap sampai ketujuan yang engkau impikan. Namun disa’at yang engkau tidak mengerti kapan dan dimana tepatnya. Engkau menemukan lilin kecil yang siap mendampingi perjalanan hidupmu.

Banyak harapan yang engkau berikan padanya. Dan lilin kecil meminta agar engkau tetap selalu bersamanya. Walau nanti engkau melihat yang lebih terang darinya. Lalu engkau berjanji akan menepati permohonannya .

Tak terasa kejenuhanmu mulai timbul dengan cahaya mungil ini. Engkau merasa acuh tak acuh dengan kehadirannya, atau hanya sebatas memenuhi kebutuhanmu melewati kegelapan ini. Engkau belum mengerti benar apa itu memiliki. Karna engkau tidak pernah merasa kehilangan. Kalau memang tidak ingin memiliki mengapa engkau mesti berjanji dan memberi harapan.

Ternyata benar, kehadiran obor yang begitu terang membuat engkau lupa untuk berterimakasih kepada lilin kecil. Engkau campakkan begitu saja dan pergi meninggalkannya sepi dalam kesendirian.

Sebenarnya sejauh apa fungsi cahaya bagimu?!. Aku yakin bukan kecukupan!, tapi pemenuhan kepuasan. Takkan pernah engkau temukan kepuasan walau engkau telah melewati gua gelap itu.

Sebenarnya yang engkau cari adalah keasyikan. Dan keasyikan yang kau kejar itu nagih. sesudah terpuaskan oleh satu keasyikan, akan sepi lagi hidupmu. sehingga terpaksa kau cari keasyikan yang lain dan terpaksa kau susun strategi untuk mengejar keasyikan-keasyikan selanjutnya (slengkapx aliflaammimm)

Semestinya engkau berbuat atas kehendak yang Kuasa Mutlak atas engkau yang diwasilahkan melalui amsal-amsal sosial, tadbir-tadbir sejarah, bunyi hati alam dan masyarakat, swaraning asepi(suara kesunyian) dan kasyiful hijab (terbukanya penghalang). Sehingga engkau mampu mengharamkan dirimu melakukan sesuatu atau menjadi sesuatu atas dasar ambisi pribadi atau karier. Dan engkau baru mampu menjadi budak Yang Maha Kuasa(slengkapx kenduricinta)

alhamdulillah . . .


Monday, February 18, 2008

don't let Ur self to be liar

adymoralist

Ya ampun. . . kenapa begitu susahnya engkau mengatakan yang sebenarnya. Dan kenapa mesti berdusta demi mendapatkan pujian yang engkau kira bisa membanggakanmu

Kalaulah itu bukan kamu, bukan karyamu dan bukan jerih payahmu kenapa mesti tidak rela dan ikhlas untuk mengatakan ini dan itu semua adalah milik karya dan jerih payahnya. Apapun. . . itu bentuk kedustaan yang engkau rangkai

Tidak perlu. . . engkau menyisipkan atau memaksa untuk menghadirkan dirimu dan namamu di balik sebuah kebanggaannya itu

Apakah engkau kira itu adalah sebuah kehormatan?! jangankan aku, Jin pun ikut malu dengan kesombonganmu. Tidak perlu engkau berdusta demi menunjukkan seolah-olah engkau adalah agung engkau adalah pahlawan engkau adalah orang yang perlu disanjung dan dipuji

Justru semestinya yang perlu engkau pikirkan dan engkau selesaikan adalah aib dan dusta-dustamu atau bahkan kalau perlu, berterima kasih dan membeli seluruh gosip-gosip atau fitnah-fitnah yang berkeliaran di mulut-mulut sumbernya, agar engkau lebih sadar dan mengenal dirimu yang sebenarnya.

“Ya ampun. . . betapa kerdilnya mental kami,
berbuat seenaknya perut. sungguh buta, hati dan ilmu kami. Ya Allah. . . . Teguhkanlah hati ini agar bersabar dan bersabar dalam derita. Sungguh tidak tega aku, Biarlah seluruhnya kubalas dengan cinta. Ya Allah. . . irhamna jami’an. Ya Allah. . . muhammadkanlah hamba dan Taburkanlah syafa’atnya”


Sunday, February 17, 2008

kukutip ayat ini dipuncak sinai

adymoralist*

Hidup silih berganti,
datang lalu pergi.

Tuhan,
Engkau yang Maha kuasa.
pisahkan hidup dan mati
datang bergantian.

Di puncak bukitMu yang terjal dan curam ini Tuhan,
kucoba rebahkan tubuhku sembari menyaksikan kekuasaaMu
Ingin rasanya kutitipkan rasa rindu hati ini kepadamu Tuhan,
agar suatu sa'at nanti engkau satukanku dengannya penuh ridhoMu

Tuhan,
aku hanya butiran pasir diantara jutaan gunung yang engkau cipta
aku hanya seekor semut diatara gajah yang engkau rupa
yang tak kuasa dan tak bisa apapun kecuali atas ridho dan kehendakMu Tuhan
aku berharap agar keinginanku ini adalah keinginanMu dan ridhoMu


*kukutip dari curahan hati/puisi seseorang


Saturday, February 2, 2008

Cinta yang lain

adymoralist

"Hi bro, kenapa blog lo begitu romantis suasananya , who love U ? , cup cup cup …"

Suit suit…Gini sobatku. Pertama ku ucapkan ribuan terima kasih untuk offline massagenya. Taunya, jauh-jauh hari aku terinspirasi atau ada keinginan untuk menjadikannya sebuah tulisan di blogku ini

Soal “cinta yang lain” yang dinyanyikan alm.Crisye ft Ungu sebenarnya gak da maksud atau pesan khusus untuk seseorang dari blogku ini.

U ada-ada aje, Kalau alm.crisye ngomong “lupakan aku jangan pernah kau harapkan cinta yang indah dariku lupakan aku kupunya cinta yang lain yang tak bisa untuk kutinggalkan”, itu wajar. Lah kalau U yang ngucapin itu kan gak asik kedengarannyadari segi apapun, entah itu vokalnya atau dengan keadaan U yang masih bujang . Seakan-akan U r not like to watching beautiful girls and women, tentunya just to admire god's creation but not for lust, apalagi sampai ngomong lupakan aku atau mencintaiku

Beda dong dengan suasananya alm.crisye, justru dengan itu membuat beliau lebih setia dengan si buah hati belahan jantungnya

Btw, ane jadikan lagu yang dinyanyikan alm.crisye ft ungu ini sebagai verse of my blog karna seneng ajah dengan alm.crisye. Baik pengalaman spritualnya dan juga kepribadiannya. Seperti yang pernah ditulis Taufik Ismail terhadap alm.crisye (klicK dSinI) gitu juga untuk lagu ini, Coba ajah liat di youtube (klicK DsiNi) gimana suasana alm.crisye menghayati lyrik perlirik dari lagu “cinta yang lain” juga perhatikan gimana raut wajahnya. Sungguh terasa pengalaman dan pengembaraan jiwa dan ruhnya.

Kira-kira begitu alasannya bro .



Saturday, January 26, 2008

Gaul

adymoralist

Ketika engkau menapaki bumi melihat segalanya telah tertata rapi sesuai selera hati. Namun pertumbuhan membuat engkau menatap segalanya dengan ketidak puasan, bukan sesuai kebutuhan dan kecukupan, melaikan keserakahan yang tampa-batas, bahkan diluar alam sadarmu, engkau telah menikmati keserakahan itu.

Engkau tergila-gila dengan pemenuhan nafsumu diluar skat-skat kesederhanaan. Berbagai dalih engkau tentramkan bathinmu untuk dapat menerima keserakahan yang telah engkau selimuti dengan apa yang engkau sebut kebutuhan.

Engkau berguru kepada kegelapan mencari petunjuk kepuasan dan kesempurnaan, engkau menyangka telah menemukan ini dan itu ketika engkau memiliki dan mendapatkan kemudahan dari penguasa gunung ini dan itu. Atau dengan diam-diam engkau juga telah merayu hatimu dengan menamakan semua itu sebagai penasehat spritualmu. Dan engkau akan terus… dan terus… mengejar ketidak-cukupan itu hingga batas keserakahan menghantammu tergelepar diatas ketidak berdayaan

Begitu juga dengan anak-anakmu yang selalu mengkonsumsi product-product mu, yang telah engkau beri label dengan sebutan kemodernan. Walau dilain pihak juga banyak yang mengajak untuk kembali cinta product leluhur. Namun mereka telah terlanjur asik mengumandangkan kemodernan, walau tidak mengerti-benar nilai-nilai kemodernan itu. Yang menyangka kemodernan adalah apa yang telah mereka beli dengan kesombongan dan keangkuhan. Sehingga yang tidak memiliki apa yang mereka anggap modern maka bukan dari golongannya. Dan berlomba-lombalah untuk modern !

Sungguh betapa banyak nilai-nilai modern yang telah kita konsumsi. "Dunia modern sangat menawarkan suatu tata hidup yang merenggangkan hubungan kasih kemanusiaan. Di kota-kota besar, anak-anak diyatimkan oleh orang tua mereka sendiri. Hak waktu mereka untuk bertemu dengan orang tua mereka sangat dikurangi. Hak mereka untuk memperoleh tingkat dan kualitas kasih sayang seperti yang seharusnya diperoleh dan peradaban orang pandai yang modern itu diterlantarkan. Bahkan mereka menjadi jauh tidak saja dari orang tuanya, tapi juga dari dirinya sendiri, dan segala bentuk kasih sayang kebudayaan kemanusiaan yang semestinya terhampar di bumi dan cakrawala mereka. Jarak dari itu semua membuat mereka berada dalam kegelapan di tengah sesuatu yang seolah-olah merupakan cahaya"

Maka jangan heran bila engkau melihat ia tidak berbusana ditengah keramaian. Karna pakaian akhlaknya telah diganti dengan kemodernan. Ternyata bukan itu saja, kadang juga ada yang berpura-pura menjadi binatang buas agar ia tidak tersisihkan dari golongannya atau kadang memakai topeng orang bijak biar ia dianggap suci.


Tuesday, January 22, 2008

ketidakmenentuan

adymoralist

Detik ini,

Engkau berjalan dikungkung kesunyian
Mencari kesejatian yang engkau tidak mengerti pasti
Walau ia selalu engkau lewati
Namun engkau merasa tak memiliki

Gundah gulana yang mewarnai keseharianmu
Ribuan rencana besar engkau agendakan
Untuk kembali menghibur kegundahan ini
Dan kembali berdiri layaknya yang berjiwa besar

Berbagai usaha engkau upayakan
Untuk menumbuhkan kembali semangat juang
Namun kegelisahan yang engkau tidak mengetahui
Ujung dan pangkalnya selalu meresahkan hati dan jiwamu

Kesemberautan dan ketidakmenentuan
Telah membuatmu kehilangan arah
Seakan-akan segalanya telah hilang
Dan takkan bisa engkau merintis kembali

Sungguh teramat banyak yang mencari sandaran setelah jatuh
Dan sangat sedikit yang mengepakkan sayapnya kembali untuk terbang

Wednesday, January 9, 2008

Maiyah Itu Apa Sih ?

Emha Ainun Nadjib

Maiyah Putih

Warga Kiai kanjeng Sepuh berkeliling ke mana-mana, ke rumah-rumah masyarakat, ke alun-alun, lapangan, halaman masjid atau kelurahan, gedung olahraga, jalan raya, trotoar atau di manapun saja: melakukan maiyahan. Bercelana putih, berbaju putih, bertutup kepala putih.
Belum tentu karena mereka orang ‘alim (istilah ini sungguh menggelikan), religious, rajin shalat, suntuk wiridan. Pakaian putih-putih itu bukan kostum pentas, dan sama sekali tidak diperuntukkan bagi siapapun yang melihatnya. Pakaian putih itu mereka peruntukkan bagi diri mereka sendiri. Mereka itu orang-orang yang mengerti bahwa hidup mereka masih kotor, masih banyak dosa dan maksiat, kepada manusia maupun maksiat kepada Allah. Maka mereka memerlukan dorongan dan rangsangan untuk melakukan proses pembersihan diri. Reresik. Maka putih-putih itu mereka tujukan kepada suasana hati dan konsentrasi pikiran mereka sendiri, agar kalau bisa jangan menerus-neruskan yang kotor-kotor, yang belum tentu baik dan benar, yang tidak sejati dan tidak abadi.
Jadi benar-benar pakaian putih itu bukan show costume bagi para penonton atau siapa­ pun, melainkan untuk dirinya sendiri. Kalaupun kepada Tuhan mereka persembahkan putih-putih itu, bukan untuk melaporkan kesucian, melainkan justru untuk mengakui kehitaman.

Maiyah Bunyi
Mereka membawa alat-alat musik dan bernyanyi-nyanyi, terkadang berteriak-teriak, di saat lain menggeremang, atau bahkan memekik-mekik.
Apa gerangan yang mereka bunyikan? Nyanyian-nyanyian bersama kepada Allah. Tidak kita sebut untuk Allah. Sebab kalau bernyanyi untuk Allah, bisa kita lakukan di mana saja tanpa harus menghadap Allah, asalkan nyanyiannya kita peruntukkan bagi Allah. Kata kepada dipilih untuk menggambar­kan dinamika proses, suluk –menempuh perjalanan rohaniah– menuju atau kepada Allah. Jadi tatkala mereka memekik-mekik, sesungguhnya hati mereka berlari sekencang-kencangnya ke keharibaan Allah –tentu dengan rasa malu yang sangat atas banyak dosa-dosa.
Kenapa shalawatan, wiridan, berdzikir, mengaku dosa kok pakai musik? Karena manusia itu khalifatullah, mandataris yang ditunjuk oleh Allah untuk mengurus dirinya sendiri dan alam semesta.. Khalifah itu pengelola. Manager. Direktur kehidupan. Eksekutif, badan pelaksana.
Para khalifah alias direktur-direktur ini menentukan apakah saron dibunyikan untuk mengiringi tayuban ataukah untuk memper­indah pernyataan cinta kepada Allah. Mereka yang mengambil keputusan apakah biola digesek, kibor dipencet, seruling ditiup, perkusi ditabuh, terbang ditampar –untuk memeriah­kan tarian atau lagu-lagu yang tidak terjamin keamanannya di depan pandangan nilai Allah, ataukah dipakai untuk memper­asyik lagu puja-puji atas keagungan Allah. Tentu saja, asalkan jangan lantas orang adzan diiringi biola, orang sholat ditabuhi pakai gendang, orang thowaf diiringi genderang massal.
Maiyah bukan ibadah makhdloh. Ia hanya kegiatan budaya yang menggali inspirasi dari Agama. Ia hanya mereligiouskan perilaku budaya. Ia hanya aktivitas sosial budaya yang tidak merelakan dirinya kalau hanya diper­untukkan buat yang bukan Allah. Karena sabbaha lillahi ma fis samawati wa ma fil ardli, seluruh makhluk yang di langit dan di bumi ini bertasbih kepada Allah. Dan para khalifah Kiai Kanjeng Sepuh tahu, bahwa yang bertasbih kepada Allah itu bukan hanya Jin dan manusia, tapi juga benda-benda, saron, biola, seruling, terbang, bahkan capung, rumput, daun-daun kering. Bukankah Allah tidak menggunakan kata man fis samawati, melainkan ma fis samawati?

Maiyah Kata
“Inna ma’iya rabbii”, tutur Musa, Nabi ‘alaihissalam, untuk meyakinkan ummatnya bahwa Allah ada bersamanya. Muhammad Rasulullah saw. juga menggunakan kata yang sama —di gua Tsur, tatkala dikejar-kejar oleh pasukan musuh— untuk menghibur dan memelihara iman Abu Bakar, sahabat beliau, Sayyid kita radliallahu ‘anhu: “La takhaf wa la tahzan, innallaha ma’ana”. Jangan takut jangan sedih, Allah ada menyertai kita.
Jadi, asal usulnya dari ma’a. Artinya, dengan, bersama, beserta. Ma’iyatullah, kebersamaan dengan Allah. Ma’iyah itu kebersamaan. Ma’ana bersama kita.
Ma’iya, bersamaku. Lantas kata-kata dan bunyi Arab itu ‘kesandung’ oleh lidah etnik kita menjadi Maiya, atau Maiyah, atau Maiyahan.
Mengenai Ibu Bapakmu, hal anak cucu para keponakan dan sanak famili, tentu kau ucapkan inna ma’iya, sesungguhnya (mereka) bersamaku. Bersamaku artinya bukan ke mana-mana ubyang-ubyung bareng, makan bareng, mandi bareng. Maknanya substansial, haqiqiyah. Kalau engkau bersamaku berarti engkau adalah bagian dari hatiku. Engkau adalah salah satu serat-serat dari struktur perasaanku. Kalau engkau riang, aku gembira. Kalau engkau berduka, aku menderita. Kalau engkau disakiti, aku mengaduh. Kalau engkau disengsarakan, aku menangis. Kalau engkau ditimpa masalah, itu juga masalahku. Kalau engkau memerlukan, aku mengupayakan pemenuhan. Kalau engkau membutuhkan, aku mengusahakan keberesan. Engkau dan aku sayang menyayangi, kasih mengasihi, tolong menolong, bela membela satu sama lain.

Maiyah Sosial
Kepada teman-teman, kepada para tetangga, kepada sesama ummat, masyarakat, warnanegara, sesama manusia, apapun saja sukunya, bangsanya, golongannya, kelompoknya, organisasinya, kepercayaan dan pendapatnya – tidak layakkah, atau bahkan tidak seyogyanyakah, atau siapa tahu tidak haruskah – engkau dan aku ucapkan dan ikrarkan juga : inna ma’iya, sesungguhnya mereka semua ada bersamaku, dan sesungguhnya aku ada bersama mereka?
Kiai Kanjeng Sepuh berkeliling ke mana-mana, menembus berbagai sisi, segmen, lapisan, golongan, kelompok, wilayah, daerah dan jenis sosiologis masyarakat untuk menumbuhkan pertanyaan dan kesadaran inna ma’iya semacam itu.
Adakah dengan tetanggamu, masyarakat dan bangsamu, engkau tidak bersedia tolong menolong, melainkan ancam mengancam? Tidak bersedia saling setia, melainkan saling khianat? Tidak mau saling membela, melainkan saling menghancurkan? Tidak siap saling ikhlas, melainkan saling tidak rela? Tidak saling menhgarapkan kebahagiaan bagi yang lain, melainkan diam-diam mensyukuri penderitaan mereka?

Maiyah Bahasa
Bahasa kenegaraan Maiyah itu nasionalisme. Bahasa mondialnya universalisme. Bahasa peradabannya pluralisme. Bahasa kebudayaannya heterogenisme, atau kemajemukan yang direlakan, dipahami dan dikelola. Metoda atau managemen pengelolaan itu namanya demokrasi.
Bahasa ekonominya Maiyah adalah tidak adanya kesenjangan penghidupan antara satu orang atau suatu kelompok dengan lainnya. Tapi ini terlalu ideal dan utopis: jadi mungkin lebih realistis kita pakai ungkapan Maiyah adalah proses dinamis menyempitnya atau mengecilnya jarak atau kesenjangan penghidupan di antara manusia. Diproses secara sistemik-kolektif jangan sampai ada yang terlalu kaya sementara lainnya terlalu fakir. Kadar Maiyah semakin tinggi dan kualitatif berbanding lurus dengan semakin mengecilnya kesenjangan itu.
Di dalam teori Maiyah nasionalisme, selalu ditemukan ada banyak pihak, ada banyak wajah, ada banyak warna, ada banyak kecenderungan dan pilihan. Masing-masing pilihan itu menggunakan warnanya sendiri-sendiri, wajahnya sendiri-sendiri dan kecenderungannya sendiri-sendiri. Setiap ika menghidupi dan menampilkan dirinya masing-masing, sehingga pada semuanya tampak sebagai bhinneka. Berbagai perbedaan itu tidak membuat mereka berperang satu sama lain, karena diikat oleh prinsip ke-ika-an, yakni komitmen kolektif untuk saling menyelamatkan dan menyejahterakan. Demikianlah berita gembira berdirinya Republik Indonesia dulu. Sikap Maiyah di antara berbagai pilihan itu adalah kesepakatan untuk saling menyetorkan kebaikan dan kemashlahatan untuk semua.
Di era sejarah Orde Baru, berlangsung policy politik nasional atau strategi kebudayaan di mana para ‘masing-masing’ itu dilarang menunjukkan kemasing-masingannya. Maksudnya baik, orang jangan menonjolkan siapa dirinya, bagaimana wajahnya dan apa warnanya. Semua disatukan, diseragamkan, identitas masing-masing disembunyikan semaksimal mungkin. Orde Baru berprinsip Tunggal Ika.
Maiyah adalah Bhinneka Tunggal Ika. Yang Batak omonglah dengan logat Batak. Yang Bugis ya dialek Bugis. Yang Madura ya cengkok Madura. Tak ada perlunya ditutup-tutupi, sepanjang ada kesepakatan untuk saling melindungi, saling menyayangi da memproses tujuan kebahagiaan bersama.
Yang Budha, berpakaianlah Budha. Yang Katholik katholiklah. Yang Islam islamlah. Om swastiastu tak usah diganti Padamu Negeri. Haleluya tak usah diganti Tanah Tumpah Darahku. Shalatullah salamullah tak usah diganti Ibu Kita Kartini. Heterogenitas itu cukup dijaga oleh satu prinsip: saling memperuntukkan dirinya bagi kebersamaan. Itulah Maiyah.

Maiyah Lingkaran
Dulu Kiai Kanjeng pentas dan diletakkan di panggung. Mereka ditonton oleh penonton. Kiai Kanjeng Sepuh yang ber-maiyah tidak berada di panggung dan tidak ditonton oleh siapa-siapa.
Mereka duduk melingkar, sehingga terserah orang lain akan bergabung menciptakan lapisan-lapisan lingkaran berikutnya atau tidak. Kiai Kanjeng Sepuh tidak mempertunjukkan musik dan suaranya kepada penonton. Mereka hanya bernyanyi, bershalawat, berwirid, membaca puisi, atau apapun, tetapi yang ada di hadapan mata kesadaran mereka adalah Allah swt. Maka pada kebanyakan momentum selama ber-maiyah, hampir tak seorangpun di antara mereka yang tidak memejamkan mata. Karena mata wadag hanya sanggup melaporkan penglihatan tentang hal-hal yang sepele: materi, benda-benda, gedung-gedung, lembaran-lembaran uang, kecantikan wanita dan kegantengan lelaki, menara pencakar langit. Dan itu semua bersifat sementara dan sangat gampang hancur.
Kiai Kanjeng Sepuh serak-serak suaranya untuk Allah. Habis bunyinya untuk mencintaiNya. Bernyanyi, membunyikan alat musik, berkeringat, untuk memelihara hubungan baik dengan Allah. Karena Allah sebagai pangasuh, penyantun, tempat bergantung – tidak bisa diperbandingkan dengan polisi, tentara, menteri ekuin, presiden, pemerintahan, konglomerat, distribusi modal atau apapun saja yang dituhankan oleh sangat banyak orang.
Allah berjanji kepada para kekasihnya untuk menjalankan empat fungsi, asalkan oleh para kekasihnya dibeli dengan taqwa dan tawakkal. Peran pertama, Allah sebagai pemberi jalan keluar, solusi atas masalah apa saja : coba sebut satu masalah yang Allah tidak sanggup menyelesaikannya!
Peran kedua Allah sebagai penabur rizqi melalui jalan, cara, metoda dan modus yang semau-mau Dia, sehingga para kekasihNya tidak bisa menduga atau memperhitungkannya. Para kekasih Allah tinggal terima jadi, terima matang – anugerah rejeki yang mereka beli dengan ‘mata uang’ taqwa dan tawakkal. Ah, apa sih taqwa? Angen-angen Allah kapan saja. Menjadikan Allah sebagai tuan rumah batin kita. Tawakkal adalah taqwa yang diperdalam ditancapkan dihunjamkan terus menerus.
Peran ketiga Allah sebagai manager dan akuntan. Kalau berasmu menipis, jangan memfitnah dengan menganggap Allah bersikap acuh tak acuh atas keadaan dapurmu itu. Ia managermu, ia atur nafkahmu, ia jamin penghidupan keluargamu. Engkau cukup menyetor taqwa dan tawakkal.
Peran keempat Allah adalah menjadi humasmu, public relation-mu. Keperluanmu atas seseorang atau suatu pihak, kebutuhanmu terhadap akses ini atau itu, disampaikan oleh Allah kepada yang bersangkutan. Engkau cukup memberi ‘honor’ taqwa dan tawakkal.

RENDRA DALAM MAKNA

Muhammad Ainun Nadjib Rendra yg kami cintai Berpindah rumahnya Dari penglihatan dan pengetahuan Menuju rumah sejati abadi Yg bernama makna, ...