Thursday, September 27, 2007

Merelakan Cak Nun Untuk Negeri

Ditulis Oleh Isman
Senin, 10 September 2007
Jawaban kami atas batas waktu Bulan Agustus 2007 dari Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) bagi jamaah maiyah untuk memutuskan berlanjut-tidaknya kegiatan maiyah sudah kami jawab dengan tegas. Jamaah menghendaki keberlangsungan acara ini karena maiyah telah memberikan semangat dan solusi bagi kami para pekerja sosial, pegiat toleransi dan demokrasi, para penganggur dan pedagang kaki lima, para penambang pasir tradisional yang tergusur secara zalim, pekerja seks komersial, pejabat sipil, militer dan lain sebagainya. Di forum maiyah Cak Nun tidak segan menjawab masalah ejakulasi dini hingga menjadi mediator penyelesaian kasus Lumpur Sidoarjo yang super pelik itu.
Sejak keruntuhan rezim Orde Baru pada 1998 Cak Nun setia membersamai jamaah dengan menyelenggarakan maiyah Kenduri Cinta (Jakarta), Mocopat Syafaat (Yogyakarta), Gambang Syafaat (Semarang), Padhang Mbulan (Jombang), Bang-Bang Wetan (Surabaya) pada setiap bulannya meskipun kadang harus bolak-balik karena tengah melakukan tour perdamaian bersama Kiai Kanjeng ke berbagai kota di tanah air, Mesir, Australia, dan Eropa. Bisa dibayangkan betapa mahalnya ongkos Cak Nun untuk menyelenggarakan acara maiyah yang dia wakafkan bagi Indonesia tersebut.
Kami bisa bermaiyah dimana saja dan dengan siapa saja. Dengan teman-teman Katolik, dengan teman-teman Hindu di Bali, aliran kepercayaan, aliran tarekat, para peneliti agama dan kehidupan beragama dari Eropa dan sebagainya. Kami bisa bershalawat di gereja tanpa teman-teman Katolik tersinggung dan kami sangat menghormati teman-teman Katolik saat menyanyikan puji-pujian. Di maiyah kami mendapatkan kesadaran tentang hal-hal krusial tentang persamaan tanpa meninggalkan akidah masing-masing,-yang pada saat ini nilai kesadaran semacam itu sangat mahal bagi bangsa dan negara. Kami membayangkan betapa banyak persoalan di negeri ini yang bisa dipecahkan dengan kerukunan hidup yang demikian. Tidak perlu ada energi untuk saling curiga, bertikai dan menumpahkan darah. Semua energi hanya tercurah untuk mencapai kedamaian dan kesejahteraan bersama.
Tokoh-tokoh nasional mengerti benar peran besar Cak Nun dalam melengserkan kekuasaan orba namun kemudian berlari untuk membersamai rakyat. Sosok ini takut bukan main akan terciprat cuilan kekuasaan yang akan membuatnya berpotensi menjadi Rahwana baru di era reformasi. Cak Nun juga selalu bermain petak umpet dengan wartawan hampir dalam setiap aktifitasnya karena merasa kikuk jika harus bersaing dengan selebritas. Saat membawa puluhan perwakilan korban Lumpur Sidoarjo ke Cikeas-yang membuat Presiden menitikkan air mata dan membuat situasi pelik menjadi lempang maka tak seorang pun wartawan yang boleh memergokinya. Dalam setiap kesempatan maiyah Cak Nun sering bilang bahwa dia adalah orang yang sangat siap dan berani untuk tidak menjadi apa-apa di Indonesia ini.
Cak Nun bersahabat dengan semua orang. Pejabat tertinggi di negeri ini, tokoh-tokoh adat, tokoh agama, petinju hingga PSK dan anak jalanan tidak ada yang canggung untuk menyapa dan berdiskusi dengannya. Golongan dan jenis rakyat macam apa pun hampir tidak memiliki resistensi terhadap peran-perannya. Sungguh sulit sebenarnya untuk mendapatkan sosok yang tidak mendapatkan resistensi dari suatu golongan masyarakat pun.
Cak Nun juga rajin menyambangi raja-raja atau penguasa adat kebudayaan di daerah-daerah yang perannya saat ini terpinggirkan. Bukan hanya oleh kebijakan melainkan juga terpinggirkan di dalam konstitusi. Diplomasi kebudayaan yang dibawanya bersama Kiai Kanjeng di manca negara juga telah membuat bangsa lain berdecak kagum atas kekayaan kebudayaan bangsa ini. Dalam hal ketahanan pangan sosok ini juga telah melakukan inventarisasi berbagai bahan pangan lokal di dalam negeri. Sehingga dia mengetahui bahwa di Indonesia diversifikasi pangan asal singkong minimal mencapai 150 macam.
Oleh karena itu dalam butir ketiga pernyataan jamaah Mocopat Syafaat Yogyakarta berkaitan dengan batas waktu yang diberikan Cak Nun dituangkan sebuah bentuk kesepakatan bahwa jamaah maiyah merelakan Cak Nun untuk berkiprah pada tataran yang lebih luas dan lebih formal untuk Indonesia. Dengan catatan bahwa bangsa dan negara ini memang merasa memerlukannya. Cak Nun mustahil akan tampil formal jika rakyat tidak merasa membutuhkannya dan lebih mustahil lagi bahwa Cak Nun akan mengungkapkan kalau dirinya mempunyai kemauan dan kemampuan untuk tampil lebih formal agar perannya lebih optimal bagi Indonesia. Hal itu dapat terbaca dari kekonsistenannya untuk tidak mendekat kepada partai dan tokoh apa pun meskipun dirinya telah menolong banyak partai dan tokoh.
Sementara itu tampaknya partai-partai yang ada tidak akan terlalu melirik Emha Ainun Nadjib karena ketegasannya dalam mengharamkan transaksi subhat, baik jabatan atau pun materi pada dirinya sendiri. Padahal sebenarnya negeri ini lebih membutuhkan sosok yang siap dan berani untuk tidak menjadi apa-apa ketimbang yang merasa siap dan berani menjadi apa-apa.

No comments:

RENDRA DALAM MAKNA

Muhammad Ainun Nadjib Rendra yg kami cintai Berpindah rumahnya Dari penglihatan dan pengetahuan Menuju rumah sejati abadi Yg bernama makna, ...