Thursday, September 27, 2007

Pondok dan Aktualisasi Ajaran

by : adymoralist*

Pondok (Gontor) dan para pimpinannya dari trimurti hingga sekarang selalu mengingatkan pentingnya menjaga prilaku. Indikasi ini menerangkan jika kiyai sejatinya tidak terlalu interest pada predikat mumtaz akademis yang nol realisasi apalagi jika tidak diboncengi perangai sholeh. Mereka yang beradab lebih terpilih menjadi nominator dibanding seorang akademisi unggul tetapi amburadul. Pemilahan seperti ini sesegera mungkin harus ditekankan pimpinan sebagai barometer jangka panjang. Jika sejenak kita mau kembali napak tilas back to past banyak aturan pondok dan segala teknisnya tidak pernah digambarkan secara utuh. Kenapa ada lonceng, pemukulan, tempelengan, rotan, pengusiran, dan segala hal yang berbau pemaksaan dan mungkin ketidakadilan. Atribut-atribut semacam ini tak ada bedanya seperti camp militer, mengisolasi kita dan seakan-akan menjadikan kita bagai robot.

Tetapi, tentu tidak bijak melihat pondok dari perspfektif dendam semacam tadi, ada beribu-ribu hal baik yang selalu ditekankan pondok tetapi tidak pernah kita sadari sebab tertutup oleh ulah pengasuhan, kemaanan, pengajaran, bagian bahasa dll. Jika ini memang sangkaan yang telah terkristalisasi dalam benak kita maka tidak berlebihan jika orang-orang demikiaan dijuluki sebagai golongan minimalis, tidak peka ngurusi isi. Pondok dengan menejemen aturannya telah begitu rapih diputuskan dalam sebuah konsili humanis. Hingga akhirnya segala aturan yang terlahir selalu berangkat dari pengalaman terdahulu, ketika proses arbitrasi atau tahkim yang biasa di laksanakan keamanan pada dasarnya selalu menyiratkan –jika mau ditanggapi secara dingin- pesan batin; "Why it's havent to me?" Kiranya bukan pertanyaan ini yang muncul: "Elo ngapain mukul gue?" Dan biasanya diikuti dengan ucapkan sumpah serapah. Keadaan demikian tidak selalu tanpa alasan perilaku kebijakan terkadang tak memahami secara utuh adanya aturan dan hukuman, hukuman yang dilaksanakan tidak lagi karena alasan membentuk karakter beradab tetapi telah terakumulasi menjadi sebuah penganiayaan dan mungkin teror. Tindakan yang berdasar pada pertimbangan sentimen pribadi ini tak ayal bakal mencekalnya sebagai orang yang tidak manusiawi.

Pondok seperti kata M.H. Ainun Najib tak ubahnya seperti kuil shaolin, irama hidupnya selalu berdenyut dari pagi hingga pagi. Atau seperti yang sering di utarakan pimpinan pondok: Alma'hadu lâ yanâmu abadan. Petuah ini harus ditafsiri secara heurmenetis karena jika tidak pondok akan dituduh gila sebab menyuruh tembok dan gedung-gedung untuk tidur. Pesan hadist yang menyiratkan jika istirahat dalam Islam adalah pergantian dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain nampaknya selalu dipakai pondok guna menjustifikasi pepatah tidak tidurnya pondok. Orientasi hadists ini lebih inward kepondok secara institusi dari pada outward atas nama seluruh santri.

Salah satu ciri in dan outward-nya pondok secara bersamaan dapat terlihat ketika kepengurusan santri diabdikasikan pada kader berikutnya sebagai tangan kanan asastid. Moment peralihan kepengurusan ini lagi-lagi berisi banyak wejangan; menjadi pengurus adalah amanat, amanat suci manusia sebagai mahluk, kyai dan guru, amat yang harus dijalankan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Seremoni tahunan ini tidak main-main, didepan Pimpinan, asatid, dan seluruh santri proses pengambilan janji dengan syahadat berlangsung khidmat. Baiat seperti ini bagi seorang kyai tentu bukan hiburan, intuisinya jauh di atas kita. Bagi santri sendiri, beragam orang berpikir untuk apa menjadi pengurus, ada yang sekedar bangga-banggan di depan adik kelas, tetapi tidak sedikti juga yang benar-benar memahami pentingnya mengemban sebuah amanat.

Pengalaman-pengalaman unik baik dan buruk yang telah banyak kita rasakan selama di pondok tidak akan bisa begitu saja terhapus dari memory setiap alumninya. Dia selamanya akan tetap menghiasi perjalanan hidup dan mungkin menjadi sebuah peringatan untuk diri sendiri, mau tidak mau pengalaman tersebut akan benar-benar dirasakan sebagai sebuah pendidikan dan pengajaran berharga, meski terkadang ungkapan sinis terhadap "orang tua" kerap terlontarkan. Pondok tidak bijak lah, ga adil lah, bisanya maksa, mukul dan suka ngusir orang sebab masalah sepele. Tetapi kesemuanya lambat laun mahjub seiring bertambah besarnya bayang-bayang kedewasaan yang menjelma menjadi sebuah kesadaran pada pemahaman betapa pentingnya pesan dan sistem pondok.

Menurut yang empunya cerita; ilmu dan pendidikan di pondok bagaikan sampah yang berserakan dijalanan. Saking mudahnya, Pendidikan dan pengajaran dapat dengan mudah di akses secara langsung, dengan melihat atau hanya dengan mendengar. Pedidikan dan pengajaran pondok selalu ditekankan bagaimana menjadi seorang pemimpin yang ideal dan bagaimana menjadi anggota (baca; yang mau di pimpin) yang patuh. Tuntutan untuk siap memimpin dan siap di pimpin telah begitu kuat mendarah daging dalam jiwa dan raga setiap alumni. Sebagai calon pemimpin yang bakal hadir ditengah masyarakat pondok kemudian benar-benar memupuk dan menanamkan nilai panca jiwa dan mottonya. Rumusan brilian motto dan panca jiwa ini adalah kail untuk memancing ikan dan kunci untuk membuka kotak kehidupan.

Saat ini, dengan bekal dari pondok, banyak para alumninya yang telah berperan pada setiap elemen mikro dan makro, nasional maupun international. Jargon pondok: Berdiri di atas dan untuk semua golongan, menjadi adagium sakral dalam berpikir dan berinteraksi. Pondok dan seluruh perangkat lunaknya bagaimanapun memiliki varian definisi di setiap kepala alumninya, maka tidak heran bila banyak alumnus yang beraneka ragam peran dan posisinya di masyarakat.

Selain menekankan kepemimpinan, pondok senantiasa menganjurkan urgennya kebersamaan. Alat penyalurannya ini terbentuk dalam sebuah wadah. Wadah ini kemudian dinamai dengan Ikatan Keluarga Pondok Modern, IKPM. Sebagai organisasi yang terlahir dari rahim pondok, IKPM cenderung memiliki peran ganda, bukan saja sarat dengan tujuan politis tetapi juga berperan sebagai pendidikan lanjutan independen dalam berorganisasi dan mematangkan diri dan mungkin -meminjam istilah Pak Syukri- jajal awak alumninya.

Dengan demikian, jelaslah jika alumni pondok dan IKPM sebagai refresentasi pondok dituntut berperan lebih banyak untuk lingkungan sekitarnya. Mereka secara tidak langsung memikul tanggungjawab mengartikulasikan pesan pondok dan mentrasformasikan sistemnya. Idealnya, IKPM harus berpenetrasi dengan ruh pondok dalam kesadarn menghargai waktu, memahami beratnya memimpin, tau dirinya sebagai anggota dan tentu saja konfrehensifitas pada motto dan panca jiwanya. Dengan demikian, IKPM sebagai institusi dan pribadi diharapkan menjadi sample bagi perubahan masyarakat dan akhirnya benar-benar menjadi organisasi profesional.


*edited by Rizky (tepatnya ini adalah tulisan Rizky)


No comments:

RENDRA DALAM MAKNA

Muhammad Ainun Nadjib Rendra yg kami cintai Berpindah rumahnya Dari penglihatan dan pengetahuan Menuju rumah sejati abadi Yg bernama makna, ...