Thursday, September 27, 2007

Penguatan Citra, Keangkuhan Daya, Pembusukan Cinta?!

Ditulis Oleh Pranawiradja
Kamis, 13 September 2007

(Batas Akhir dari Penegasan adalah Awal dari Ketegasan)
Karakter, telah dibunuh....Karekter, sedang terbunuh....Karakter, mulai membunuh....
Citra yang lepas dari pohon keahlianTercerabut akar dan tergores sayatanCinta telah kehilangan ruang waktu
Revolusi Now!!Love bukanlah sarana, tapi subyek yang meragi....Berubah bentuk menjadi gelombang....Menjelma diri menjadi roh....Menuntun mind, share, dan power....Berwujud cahaya berwajah wisdom....
(Pranawiradja - 2007)
Nusantara
Sewaktu mataram berkuasa (Sutawijaya) beredar pameo 'Tidak Boleh Ada Matahari Kembar", itulah prinsip dan idiologi Senopati untuk memperkuat kedudukan dalam kekuasaannya di jawa, Mangir dan Pangeran Timur harus dimusnakan dengan siasat licik (strategi Juru Martani paman Senopati) dengan cara yang kejam (the politics horror). Sebelumnya, masa Sultan Hadiwijaya Pajang muncul ungkapan "Surya Rembulan Kembar", yakni ketika Sultan Pajang bertanya kepada Sunan Giri tentang konspirasi para penguasa pesisir yang baris pendhem (bawah tanah) melawan Pajang. Ageng Pamanahan menawarkan siasat ke Sultan Pajang untuk melenyapkan kekuatan pesisir (Arya Penangsang) dengan menempatkan sendiri anaknya (Sutawijaya) sebagai Senopati Ing Alaga (bagian skenario pengambil alihan kekuasaan oleh trah mataram terhadap Pajang). Maka ungkapan “Matahari Kembar” sebagai "tradisi" intrik keraton, pada zaman kompeni VOC pemerintahan Hindia digunakan sebagai siasat untuk membagi kekuatan dan kekuasaan Mataram (kraton Surakartata Hadiningrat - Mangkunegaran, Yogyakarta Hadiningrat - Pakualaman) yang terkenal dengan politik pecah belah (Devide et Impera).
Astronomi, matahari adalah sebuah bintang dalam gugus galaxi bima sakti sebagai pusat pusaran, bumi adalah satelit yang mengelilingi matahari dan bulan mengelilingi bumi. Dalam jagad tata surya, bintang atau surya jelas lebih dari satu yang menjadi poros di wilayah gugusannya. Bumi sebagai pusat kedudukan peradaban manusia sifatnya hanya satu, demikian pula dengan bulan yang mengitari bumi. Artinya sangat mungkin dan rasional bahwa di bumi nusantara ini kita bisa melihat banyak bintang-bintang (apakah itu bintang kembar), baik bintang di langit maupun bintang di bumi (sosok pemimpin).
Indonesia, carut-marut sistem politik, hukum, ekonomi, sosial dan keagamaan kita telah memasuki pintu gerbang menuju kehancuran peradaban yang berujung kematian sebuah bangsa. Proses dan segala bentuk eksesnya banyak diistilahkan atau mendapat pembenaran (justifikasi) sebagai suatu proses demokrasi, yah... suatu surat suci dari kitab suci yang bernama globalisasi dengan ayat-ayatnya yang benama HAM. Di sisi lain kita membutuhkan figur kepemimpinan yang bisa menjadi tauladan bersama yang memiliki visi serta kemampuan yang bisa menjadi modal dalam menyelesaikan masalah bangsa. Untuk itu kita sebenarnya sedang membutuhkan kepemimpinan atau sistem yang seperti apa? Dan harus bagaimana?
Pertarungan Tiga Prinsip
Sementara, tiap hari kita sering mendengar dan melihat Susilo Bambang Yudoyono sebagai Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan statementnya (diartikan janji-janji), tiap minggu di media kita melihat dan mendengar kritikan dan sindiran dari Si Butet Yogya (Butet Kertaredjasa) sebagai Presiden Negara (dibaca Perusahaan) Republik Mimpi, dan setiap bulan di pelataran Taman Ismail Marzuki Jakarta kita juga melihat dan mendengar kritikan, wacana dan solusi alternatif dari Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) sebagai Presiden Negara (dibaca Komunitas) Republik Kenduri Cinta. Siapakah yang sebenarya Pemimpin dan siapakah yang Pemimpi?
Sosiolog AS, Robert Wunthow, mengemukakan teori “three sectors model” atau model tiga sektor, bahwa seluruh masyarakat dibagi menjadi tiga sektor, yaitu sektor swasta (private sector) atau sektor pasar (market sector), sektor negara atau masyarakat politik (sebagaimana disebut oleh Gramsci) dan sektor voluntir yang disebut juga sektor ketiga (the third sector). Pilar-pilar utama sektor negara adalah lembaga-lembaga kenegaraaan seperti parlemen, pemerintah dan lembaga pengadilan, pilar utama sektor pasar adalah perusahaan-perusahaan. Sedangkan pilar sektor ketiga adalah komunitas atau lembaga gerakan masyarakat baru (new social movement). Di ketiga sektor berlaku nilai-nilai yang berbeda. Sektor negara berlaku prinsip kekuasaan yang memaksa (coercion), dimana negara, seperti dikatakan oleh Max Weber, memiliki monopoli dalam menjalankan kekerasan guna menegakkan hukum dan peraturan-peraturan. Nilai utama sektor swasta adalah mekanisme pasar untuk mendapatkan keuntungan (market mechanism for profit), sedangkan prinsip sektor ketiga adalah kesukarelaan (voluntary), non profit dan non-coersive.
Itulah pertarungan tiga prinsip, saling berlomba dalam wilayah diri pada model kepemimpinan serta wilayah sosial dalam model managemen dan kebijakan publik. Ketiga prinsip tersebut menurut John W. Gardner (Excellenc - Can We be Equal and Excellent too?) adalah hak istimewa turun temurun (genetik, kekayaan maupun mitos), paham kesamaan dan kebersamaan, serta hak atas prestasi individual. Fenomena ini sekarang terbawa kepada pola kepemimpinan dan sistem pengelolaan pembangunan nasional yang saling benturan antara pola mediokrasi (mediocracy - sistem sosial dimana seseorang atau masyarakat mendapat status atau jabatannya karena kekayaan, status sosial atau pencitraanya) dan meritokrasi (meritocracy - sistem sosial di mana seseorang mendapat status atau jabatannya karena kemapuan dan keahlian dirinya) seperti yang diceritkan oleh Michael Young dalam bukunya “The Rise of the Meritocracy”. Suatu pertanyaan yang harus kita pecahkan bersama, dimana dan bagaimana posisi serta reposisi prinsip kesamaan dan kebersamaan itu?

Pemilihan presiden 2004 diakui banyak pihak sebagi pemilu yang paling demokratis, efektif, efesien dan fair, menghasilkan kepemimpin puncak di republik ini yang seharusnya super power. Hal ini dipahami karena kemenangannya dapat dikatakan hampir tanpa cacat hukum (de yure) dan mayoritas para kontestan pemilu memilihnya dengan mayorite pula (de facto).
100 hari...dua kata dalam kalimat yang tajamnya seperti pisau bermata dua, sisi lain kekuatan untuk meyakinkan dan di sisi lain adalah janji yang siap ditagih. Hari demi hari, minggu, bulan dan tahun demi tahun kalimat itu diulang, terulang dan tersempurnakan, sehingga menjadi suatu icon. Kalimat itu menjadi jargon status quo dalam meyakinkan rakyat untuk tetap sabar, pelan-pelan dan bertahap karena kondisi yang sekarang dihadapi sangat kompleksitas (eksternalitas), oposisi menggunakan kalimat tersebut sebagai martil untuk mengatakan kepemimpinan dan sistem yang dikembangkan tidak tegas dan tidak kapabel (internalitas). Sehingga kondisi dan gambaran ini di ulas oleh Kompas (16 November 2006) dengan judul “Bangsa Indonesia Mundur Menuju Mediokrasi”.
Seratus hari yang biasa ditulis 100 hari adalah angka sempurna dari bilangan waktu, karena bilangan hari, minggu dan tahun tidak persis menemukan bulatannya. 100 adalah konsepsi angka yang paling sempurna pembulatanya, karena angka tersebut adalah penyempurnaan dari bilangan 99. Rasulullah SAW telah mengajarkan 99 nama yang digunakan oleh rabbul 'alaminunfinished; sifat bilangan 99). Tinggal satu nama yang tak diajarkan kepada mereka, yang harus ditemukannya sendiri lewat pengabdiannya sepanjang hidup. Itulah ismulllahil a'zhom atau nama Tuhan yang Keseratus, dimana bila Allah dipanggil dengan nama tersebut, akan ditunaikan hajatnya. Bila didalam mencari nama Allah Yang Keseratus kita bersikap seperti mencari informasi keilmuan, maka dapat dipastikan kita akan gagal memperolehnya, karena sebenarnya nama yang kita cari itu bukanlah sebuah obyek di luar diri kita, melainkan subyek pencari itu sendiri. untuk mencipta, memelihara dan mengembangkan semesta sampai mencapai kebulatan yang nyaris sempurna (
Nomadisme
Globalisasi, kata yang gersang nilai tapi sarat makna, merupakan rumah gedhong bagi kapitalis global yang liberal, yang akan mencium dan menduduki oase kehidupan dan akan meninggalkanya bila sudah kering, serta bila tidak memberikan keuntungan dan harapan lagi. Tak ubahnya seperti nomad di masa lalu, yang merasa tidak memerlukan batasan terioterial, batas negara, dan batas kebudayaan.
Nomadisme (meminjam kata Yasraf Amir Piliang), sebagaimana orang, uang, modal, atau investasi juga mengembara secara global sebagi nomad yang membanjiri satu kawasan (capital inflow) ketika terdapat prospek cerah. Akan tetapi mereka akan melesat seperti meteor (capital fligt) mana kala krisis dan kebangkrutan menghantui. Itulah kado pertama bangsa Indonesia di akhir abad ke-20 (baca krisis tahun 1997), bila tidak eling lan waspodo (ingat kevertikalan dan kewaspadaan), hadiah itu sudah akan berwujud menjadi siklus 10 tahun-an, yang sangat dimungkinkan hadiah kedua di awal abad ke-21 (baca akhir 2007 atau awal 2008). Itulah kekuatan global sekaligus kelemahannya, seperti manusia yang mengagungkan kekuatan diri yang menjelma mengagungkan hasil ciptaanya sendiri (materi) lupa terhadap kekuatan yang menciptakan dirinya (Tuhan).
Di dalam perkembangan peradaban di muka bumi ini (menurut Yasraf Amir Piliang dalam artikelnya “Melinium Ketiga dan Matinya Pascamodernisme”), setidak-tidaknya dunia pernah dikuasai oleh tiga bentuk kekuatan. Pertama, kekuatan agama yang dibangun terutama berdasarkan prinsip perdamaian. Kedua, kekuatan militer yang dibangun berdasarkan prinsip kekuatan. Ketiga, kekuatan pasar yang dibangun berdasarkan prinsip keuntungan.

Kekuatan agama dalam sejarahnya terbukti mampu mempersatukan bangsa-bangsa di dunia di dalam kedamaian dan kemajuan, tetapi tidak mampu menciptakan pasar yang luas. Kekuatan militer justru tidak pernah mampu menciptakan kedamaian, meskipun dapat mendorong kemajuan (invasi teknologi). Kekuatan pasar , sebaliknya mampu mempersatukan bangsa-bangsa di dalam globalisasi ekonomi dan menjadi pendorong kemajuan yang sangat ampuh (inovasi produk), tetapi - sebagaimana telah dibuktikan oleh ekonomi pasar - tidak pernah mampu menciptakan keadilan.
Demokrasi Versus Atau Sama Dengan Diktator?
Ulas balik, model kepemimpinan dan sistem pemerintahanya (kerajaan/negara) yang bertumpu pada kehendak tuhan dengan sistem tata nilainya. Pada jaman sebelum masehi, tersebutlah dalam kitab suci tentang Zulkifli seorang nabi dan rasul yang nama aslinya Basyar, beliau menjadi raja bukan karena keturunan, melainkan ditunjuk oleh raja sebelumnya untuk menggantikannya, dikarenakan beliau memiliki kesabaran yang tinggi dan amanah (mampu menegakan pranata dan aturan main dengan baik, sabar dan amanat - aspek hukum). Daud (pemegang Zabur) seorang nabi dan rasul yang menjadi raja, disamping sebagai menantu Thalut (Sang Raja penyimpan Thabut), tetapi juga karena kekuatan, keberanian dan keahliannya dalam perang, teknologi dan sistem kepemerintahan (mampu mendudukan kemampuan militernya dalam sistem kepemerintahan secara baik dan benar - aspek politik). Sulaiman adalah nabi dan rasul yang menjadi raja bukan saja karena anak Daud, tetapi karena memiliki kebijaksanaan, ilmu dan keadilan (mampu mengelolah sumber daya yang ada untuk kemakmuran rakyatnya - aspek ekonomi).
Kepemimpinan dan sistem kepemimpinananya (umat/kaum/masyarakat) yang bertumpu pada kehendak tuhan dengan sistem tata nilainya. Tersebutlah Nabi Musa As, Nabi Isa As dan Nabi Muhammad SAW yang tergolong diantara 5 rasul yang Ulul Azmi dan tuhan menurunkan kitab suci kepadanya berupa Taurat, Injil dan Al-Quran. Dalam kepemimpinan ini, Nabi Isa dengan sifat Quddusnya dapat mengembalakan dan menata umatnya (bani Israil) dan dari tekanan Roma, sehingga beliau mampu menemukan format diri (bebas-dari), sedangkan nabi Musa dapat membangkitkan dan membagun kaumnya (bani Israil) terhadap penjajahan bangsa Mesir (Raja Firaun) dengan kemampuan ilmu dan teknologinya, akhirnya dalam memimpin kaumnya beliau menemukan format sosialnya (bebas-untuk). Nabi Muhammad dengan sifat As Saadiq (yang benar), Al Amin (yang amanah) dan kebijaksanaanya membangun kesadaran bersama bangsa-bangsa di jasirah Arab dengan ketahuitan dan demokrasi yang didasari pada proses dialektika dan musyawarah mufakat (dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat) dengan menjunjung harkat dan martabat hakiki manusia (konsepsi masyarakat madinah - piagam Madinah), sehingga kesempurnaan beliau bisa memadukan konsepsi bebas-dari (Nabi Isa) dan bebas-untuk (Nabi Musa).
Sejarah singkat perjalanan konsepsi bentuk negara dan sistem pemerintahan yang sudah dimulai jaman Yunani Kuno, yang dipelopori oleh Socrates (399 SM), dan kemudian diikuti oleh Plato, Aristoteles, Epicurus, dan Zeno. Jaman Romawi Kuno, pembicaraan tentang negara dipelopori oleh Polybius, Cicero, dan Seneca, dimana bentuk negara masih bercampur dengan bentuk/sistem pemerintahan, bentuk negara tersebut diklasifikasikan mejadi tiga golongan pokok, yaitu monarki, aristokrasi, dan demokrasi (dengan berbagai eksesnya). Jaman pertengahan teori tentang bentuk negara umumnya hanya dibagi dalam dua bentuk, yakni Republik dan Monarki, teori ini diperkenalkan oleh Niccolo Machiavelli dalam bukunya "Il Principe". Teori ini kemudian dikembangkan dan disempurnakan oleh George Jellinek dam Leon Duguit. Para sarjana pada jaman modern berusaha mencari dan merumuskan bentuk negara yang lebih mendekati kenyataan, maka muncullah tiga aliran yang didasarkan pada bentuk negara yang sebenarnya, yaitu:
Paham yang menggabungkan persoalan bentuk negara dengan bentuk pemerintahan; Paham yang membahas bentuk negara itu atas dua golongan, yaitu demokrasi atau dictator; dan Paham yang mencoba memecahkan bentuk negara dengan ukuran-ukuran/ ketentuan yang sudah ada. Kasunyatan (kenyataannya), konsep pembagian bentuk negara yang banyak dianut atau dicitrakan sekarang adalah bentuk negara dengan sebutan demokrasi atau diktator. Dalam konsep ini, bentuk negara yang baik dan ideal adalah negara demokrasi, sedangkan segala bentuk negara yang jelek adalah diktator. Seluruh permasalahan yang ada ditimbang dengan konsep demokrasi, baik pola managemenya dan kebijakannya. Jika memenuhi konsep dan standar demokrasi, maka disebutlah negara tersebut sebagai negara yang demokratis, sedangkan jika tidak memenuhi syarat dan standar tersebut, maka dikatakanlah negara tersebut sebagai negara diktator. Sehingga bentuk negara bukanlah menjadi tinjauan utama, tetapi proses kepemerintahan menjadi titik tekan, apakah demokratis atau tidak, sehingga dikategorikan negara demokrasi atau bukan demokrasi (totaliter - diktator). Pertanyaannya, apakah definisi demokrasi yang sekarang ini benar secara sistem nilai (velue) dan secara bentuk (struktur)?
Teokrasi, Khilafah dan Konstitusi Madinah
Teokrasi yang menakutkan, indentikkah dengan negara islam dan penerapan syariat islam? Sekitar 100 ribu orang yang tergabung dalam Hizbut Thahir Indonesia dengan perwakilan dari maca negara, Minggu 8 Agustus 2007, menggelar Konferensi Khilafat Internasional 2007 di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta. Konferensi mengangkat tema “Saatnya Khilafah Memimpin Dunia” diselenggarakan oleh Hizbut Tharir Indonesia (HTI). Para peserta konferensi menyerukan kebangkitan umat muslim menerapkan syariah. Pada tanggal 5 September 2007 (berita Kompas) dalam Seminar “Pemahaman Ideologi Pancasila dan Problematika Bangsa serta Solusinya”, Fauzan Al Ashary dari Majelis Mujahidin Indonesia mengatakan, masalah bangsa hanya bisa diatasi dengan penerapan syariat Islam secara penuh, penerapan syariat Islam secara setengah-tengah tidak akan menghasilkan hasil optimal sebagai solusi atas berbagai masalah bangsa. Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia, M. Ismail Yasanto, mengatakan, sebagai Indiologi, Pancasila belum memiliki basis pratikal yang mencukupi. Pelaksanaan Pancasila sangat bergantung pada keinginan penguasa, dalam kondisi demikian, tuntutan penegakan syariat islam menjadi relevan sebagai basis pratikal pelaksanaan Pancasila. Sementara itu, mantan Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia Pdt Nathan Setiabudi mengatakan, pemerintah tidak hanya perlu waspada dengan gerakan separatisme, tetapi juga dengan gerakan sektarian yang berkeinginan mendirikan negara Teokrasi (Teocracy). Apakah ini cuman GR (gedhe rumongso - nafsu besar) dari kalangan umat Islam tertentu sehingga melakukan reposisi terhadap globalisasi (kaptilasme global - kedangkalan demokrasi) atau kecurigaan besar yang tak mendasar dari kalangan umat non muslim terhadap Islam?
Khilafah dan Khalifah, jargon “Saatnya Khilafah Memimpin Dunia” adalah penggiringan opini yang halus untuk menawarkan suatu sistem alternatif menghadapi cengkraman kapitalisme global, yang berujung keinginan untuk menerapkan syariat islam. Otomatis bila syariat islam bisa diterapkan dan diformalkan sebagai suatu sistem, maka akan menyebut dan mengangkat calon pemimpinya menjadi Khalifah. Khalifah adalah gelar untuk pemimpin umat islam setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW (632 M). Kata “Khalifah” dapat diterjemahkan sebagai “pengganti” atau “perwakilan”. Para pemimpin islam ini awalnya menyebut diri mereka sebagai “Khalifat Allah”, yang berarti perwakilan Allah (Tuhan), tetapi pada perkembangannya, sebutan ini diganti menjadi “Khalifat rasul Allah”, yang berarti “pengganti Nabi Allah”, yang kemudian menjadi sebutan standar untuk menggantikan “Khalifat Allah”. Para akademisi memilih untuk menyebut “Khalīfah” sebagai pemimpin umat islam tersebut. Khalifah juga sering disebut sebagai Amīr al-Mu’minīn atau “pemimpin orang yang beriman”, atau “pemimpin umat muslim”, yang terkadang disingkat menjadi “emir” atau “amir”.
Pakah tidak terlalu dini, pemaksaan tafsir penerapan syariat islam yang banyak diartikan sebagai pemberlakukan Quran dan Hadits sebagai sumber hukum tunggal dalam bermasyarakat dan bernegara di negara yang sangat plural dan multikultural ini. Dalam umat islam sendiripun masih banyak beda tafsir, pandangan dan pemahaman tentang Quran dan Hadits, jangankan untuk pedoman ibadah horisontal atau sosial (muamalah - 96,5 persen dari isi Quran) dalam ibadah vertikalpun (magdhoh - 3,5 persen dari isi Quran) masih beda pendapat dan beda cara, sehingga sering menjadi perdebadan yang serius disertai gesekan sosial antar umat islam sendiri.

Konstitusi Madinah, banyak kalangan islam kurang mengupas dan memahami serta menformulasikan kembali Piagam Madinah (Konstitusi Madinah). Padahal konstitusi ini adalah dokumen penting dalam membangun sistem bermasyarakat dan kepemerintahan yang modern (masyarakat madani – civil society - demokrasi). Perlu dialektika dan gesekan selama 6 tahun untuk mencapai titik temu dan kesepakatan antar kepentingan masyarakat Madinah (berbagai suku bangsa yang memiliki sistem tata nilai dan agama yang berbeda-beda) sehingga membuahkan 47 pasal. Secara umum bisa dibagi menjadi 4 pokok gris bersar: Pertama, mempersatukan segenap kaum muslimin dari berbagai suku menjadi satu ikatan. Kedua, menghidupkan semangat gotong royong, hidup berdampingan, saling menjamin di antara sesama warga. Ketiga, menetapkan bahwa setiap warga masyarakat mempunyai kewajiban memanggul senjata, mempertahankan keamanan dan melindungi Madinah dari serbuan luar. Keempat, menjamin persamaan dan kebebasan bagi kaum Yahudi dan pemeluk-pemeluk agama lain dalam mengurus kepentingan mereka.
Arti pentingnya perkataan ummah yang tercantum dalam rangkaian pasal-pasal pada Konstitusi Madinah. Dalam Encyclopaedia of Islam dikemukakan bahwa perkataan ummah tidaklah asli dari bahasa arab, menurut Montgomery Watt, perkataan ummah berasal dan berakar dari bahasa Ibrani yang bisa berarti suku bangsa atau bisa juga berarti masyarakat. Dapatlah dipahami bahwa perkataan ummah dalam Konstitusi Madinah mempunyai pengertian yang sangat dalam, yakni berubahnya paham kesukuan yang hidup di kalangan suku-suku Arab saat itu. Cakrawala wawasan sosial yang sangat sempit, dan kehidupan politik yang terbatas, karena fanatisme kabilah (kesukuan) dan ikatan darah yang dibatasi oleh tembok kelahiran, pelan-pelan mulai runtuh berganti dengan suatu masyarakat yang luas, di mana masing-masing dari warganya mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Dengan demikian, Nabi Muhammad telah menciptakan kondisi untuk terbinanya suatu masyarakat yang bersatu, yakni komunitas masyarakat Madinah yang utuh, tanpa membedakan agama, ikatan kesukuan dan ikatan darah.
Setelah kepemimpinan Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib), kekhalifahan yang dipegang berturut-turut oleh Bani Umayyah, Bani Abbasiyah, dan Bani Ustmaniyah, dan beberapa khalifah kecil, berhasil meluaskan kekuasaannya sampai ke Spanyol, Afrika Utara, dan Mesir. Jabatan dan pemerintahan Khalifah berakhir dan dibubarkan dengan pendirian Republik Turki pada tanggal 3 Maret 1924. Piagam Madinah justu mengalami bias dan penyimpangan sejak meninggalnya Nabi Muhammad SAW, penyimpangan baik subtansi maupun proses dalam pemilihan Khalifah pertama, yaitu Abu Bakar sampai sampai Khilafah Islamiyah yang direpresentasikan dalam bentuk Negara Utsmaniyah di Turki (berakhir tahun 1924). Lepas kita tidak sepakat adanya kapitalisme global yang berbaju demokrasi, suatu lontaran kritis terhadap Khilafah Islamiyah dari Khalifah Abu Bakar samapai Bani Utsmaniyah Turki, apa bedanya dengan sistem monarki dan mediocracy?
Horrorcracy
Absurd, ternyata globalisasi ladang subur bagi binih-binih horror, tumbuh subur dengan siraman air demokrasi dan cepat berbuah dengan pupuk HAM. Hororisme menjadi realitas ketika horor menjadi kecenderungan, keyakinan idiologis, dan strategi politik (the politics horror). Bila politik horor menemukan wadahnya dalam suatu sistem dan tumbuh subur, maka akan megalami metamorfosis menjadi kekuatan horrocracy. Horrorcracy akan mengalami mutan bila beriringan dalam dukungan perkembangan wacana pemikiran dan keilmuwan horrosophy.
Berbagai panggung hororisme dan realitas-realitas horor telah mengguncang tubuh bangsa ini dan menggiring ke arah sejarah panjang degradasi, pembusukan, dan abjeksi yang berlangsung secara sistematis dan dalam skala yang sangat luas dan besar. Yah .. abjeksi (abjection) suatu terminologi psikoanalisis yang digunakan untuk menjelaskan keterpurukan atau degradasi individu (atau sebuah bangsa) dari rasa kebanggaan, kekuasaan, atau kedaulatan ke dalam rasa kehinaan, kenistaan, ketidakberdayaan dan kerendahan derajat, sebagai suatu akibat berbagai tindakan kebencian, kekerasan, dan horor yang merasuk dalam dirinya sampai membentuk citra horor individu atau bangsa.
Abjeksi telah membuat dan menempatkan posisi bangsa Indonesia, baik secara psikis maupun simbolis di dalam berbagai kedudukan yang sangat rendah, di bidang ekonomi, politik, sosial, dan kultural. Hal inilah menyebabkan bangsa Indonesia kehilangan martabat, harkat, kehormatan, dan kewibawaan dalam pergaulan internasional. Abjektif yang berlarut-larut hanya akan menciptakan semacam rasa rendah diri kolektif yang dapat menggiring pada kematian sebuah bangsa.
Panggung horrorism, panggung kekerasan dan kekacauan harus dibalikkan ke arah panggung posthorrorism, yaitu ke arah penciptaan panggung perdamaian, keadilan, kebenaran dan kedaulatan rakyat, bangsa dan kedaulatan negara. Posthorrorism adalah sebuah keyakinan yang di dalamnya perbedaan (difference) dianggap bukan sebagai suatu yang negatif dan destruktif, tapi dapat dikelola sebagai sesuatu yang bersifat positif dan konstruktif melalui manajeman perbedaan (management of difference) dengan dasar cinta. Perbedaan dilihat dalam penghargaan terhadap kearifan lokal dengan multikulturalisme yang membangun elemen-elemen bangsa yang plural tanpa suatu klaim akan suatu superioritas dan dominasi kesukuan, kegamaan maupun kedaerahan. Suatu ruang pembelajaran untuk membangun kesadaran bersama dengan stimulasi-stimulasi untuk menciptakan situasi kesalingcintaan, kearifan, kebijaksanaan, dan persaudaraan dengan nuasa pencerahan dan pencerdasan. Itulah posthorrocracy, sistem yang ditawarkan dalam mengelolah antar kepentingan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Penegasan dalam Ketegasan, Berubah untuk Perubahan
Kenduri Cinta berusaha melakukan proses fermentasi/peragian terhadap horrorism tersebut agar menjadi posthorrorism dengan wujud spirit, visis dan transformasinnya “MENEGAKAN CINTA MENUJU INDONESIA MULIA”, tinjauan suatu masyarakat (komunitas) yang berusaha terus-menerus melakukan pembelajaran bermasyarakat, berbangsa dan pembelajaran bernegara (learning socila procese, learing organization and learning nation; Peter Senge) untuk menemukan dan lelaku (melakukan) formulasi posthorrorcracy.
Sekarang, perjalanan Kenduri Cinta sudah mencapai usia 7 tahun sejak dimulai aktivitas rutinnya di Taman Ismail Marzuki (Jakarta) pada bulan Juni 2000. Seperti halnya pertumbuhan dan perkembangan psikologi anak, usia 0 - 5 tahun adalah tahapan belajar sambil bermain, 5 - 7 tahun belajar berpikir dan 7 - 9 tahun belajar untuk bertindak. Hal ini sangat penting untuk mempersiapkan diri memasuki usia aqil baligh (usia 9 tahun) dengan tanda-tanda perubahan fisik, psikologis (rasa dan logika) serta sikap, itulah awal kedewasaan untuk memulai pematangan.
Sebagai wahana dan ruang pembelajaran, KC adalah media da’wah yang mengedepankan dialektika segitiga cinta (Tuhan, Muhammad dan Manusia) dengan dialektika dua arah aktif (semua yang hadir berhak dan dapat menjadi da’i). Seperti halnya dalam da’wah, dak’wah terdiri dari 3 tingkatan (proses pembelajaran), yaitu dari ta’rif (mengenal - learning social process), takwin (membentuk - learning organization) sampai tanfiz (melaksanakan - learning nation). Setelah tahun 2000 sampai pertengahan 2005, KC dituntut berubah untuk mulai belajar serius dan benar, yang dapat diartikan belajar syahadat kembali untuk bersyahadat yang jujur dan benar (janji dan komitmen sejati), sehingga pertengahan 2005 - pertengahan 2007 harus menata dirinya dengan tata kelola yang baik sebagai komunitas dan penyempurnaan sistem pembelajaran menjadi Majelis Ta’rif (pencarian majhul tashawwur).
Pertengahan 2007 ke depan, KC harus berubah, harus melakukan penyempurnaan lagi dalam proses pembelajarannya (penyempurnaan tingkatan) dari ta’rif menjadi takwin, artinya KC harus belajar keras dan benar dalam mengenal konsepsi diri (trasenden), baik formulasi, konsepsi dan pembelajaran laku (tandang - melakukan) sholat, zakat, puasa dan konsepsi haji. Serta belajar secara baik dan benar untuk formulasi, konsepsi dan pembelajaran laku (tandang - melakukan) sebagai konsepsi sosialnnya (transformasi), baik aspek sosial budaya, politik, hukum dan ekonomi dalam keruangan yang lebih luas dalam berbangsa dan bernegara. Pertanyaannya, apakah hal ini mau dan mampu dilakukan oleh KC sebagai totalitas komunitas alternatif?
Proses pembelajaran di KC tidak lepas dari proses pembelajaran bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Masa baligh KC tahun 2009 (usia 9 tahun) akan bertepatan juga dengan masa kelahiran kembali Indonesia yang harus bermartabat (tinjauan para spiritualis dan posmo). Tahun 2009 adalah tahun mati hidupnya bangsa Indonesia, tahun itu bangsa Indonesia genap di usia yang ke-64 (64 ~ 6+4 = 10), bila ditangani dengan baik dan benar maka kelahiranya akan menghasilkan bangsa yang tegak bermatabat (1), bila tidak maka akan berujung pada kematian sebuah bangsa (0). Artinya, KC secara konsep diri harus siap dan wajib menjalankan sholat, puasa, zakat, dan haji (bila berkemampuan), serta harus siap dan wajib dalam menjalankan konsep sosialnnya untuk membidani proses kelahiran kembali Indonesia yang bermartabat itu, karena masa itu sudah memasuki tahapan tanfiz. Itulah janji dan komitmen KC dalam visinya untuk Menegakkan Cinta Menuju Indonesia Mulia. Bila tidak mampu jadi loko, maka jadilah bahan bakar, bila tidak mampu menjadi bahan bakar cukuplah sebagai gerbong, asal tidak membebani (nggandoli) langkah Sang Perubah.
Semua harus melakukan penegasan dan berubah, untuk melakukan dan mewujukan ketegasan dan perubahan, bila tidak maka ketegasan dan perubahan itu bukan milik dan kesadaran kita lagi (milik dan kesadaran bangsa Indonesia). Artinya, kekuatan lain di luar diri bangsa yang akan menentukan kehidupan bangsa indonesia, hidup sebagai bangsa tanpa martabat dan sebagai bangsa kuli. Tuntaskan, temukan dan wujudkan bebas-dari guna bebas-untuk.
Nun (ﻥ) adalah huruf arab dimana titik tanpa tergantung (Nur Muhammad) di dasarnya garis lengkung ke arah atas (perahu Nuh), apakah Nun membutuhkan alief ( ﺍ - tongkat atau dayung) untuk penegasan kata (independen) dan ketegasan langkahnya (interdependensi). Apakah ketegasannya berhenti sebatas sebagai tongkat Ibrahim atau Sunan Bonang (independent), atau terdorong sebagai tongkat Daud/Sulaiman atau tongkat Sunan Giri/Gunung Jati (dependent), atau menggenapkannya menjadi tongkat Muhammad atau Sunan Kalijaga (interdependsi) yang perannya terus menerus berjalan (nilai) tapi belum mawujud (berwujud diri menjadi) bangunan fungsinya (stuktur). Bila tercapai perjalanan transendensinya (vertikal) secara sempurna maka dirinya akan tau, bila tercapai perjalanan transformasinya (horisontal) secara sempurna, maka rakyat wajib tau. Bila keduanya ditemukan dan diketemukan maka dirinya sendiri harus tau dan mau, manunggalnya kawula (rakyat) dan Gusti (Tuhan) terhadap diri pemimpin (manunggaling kawula lan Gusti).
Semoga proses pembusukan (fermentasi) cinta (love) mejadi pusaran utama (sentrifugal - black hole) dalam memproses mind (afektif), share (kognitif) dan power (pskomotorik) meghasilkan anggur kebijaksanaan (wisdom) kekuatan utama (centrepental - big bang). Keganasan horrorism (pemanasan global) yang panas, menguap dan disergap kekuatan sang bayu (ozonisasi) yang dingin kemudian sublin menjadi embun posthorrorism. Revolusi Now!!
Untuk mengingatkan agar kita eling lan waspodo sebuah cuplikan puisi Menembus Jantungmu Sendiri, tahun 1994 by Emha,
“KAMU DIRACUNI OLEH OKNUM TERTENTU NAMANYA TAWAR MENAWAR YANG TIDAK SEPADAN, KAMU DIHASUT..., HATIMU DIBAKAR OLEH TAMU ASING YANG DATANG DENGAN TOPI BAJA KEKUASAAN, KAMU DITUNGGANGI OLEH PIHAK KETIGA YANG BERNAMA TEKANAN DAN DUKA DERITA".

No comments:

RENDRA DALAM MAKNA

Muhammad Ainun Nadjib Rendra yg kami cintai Berpindah rumahnya Dari penglihatan dan pengetahuan Menuju rumah sejati abadi Yg bernama makna, ...