Saturday, December 22, 2007

Makan Minum Dak Tentu

"Slilit Sang Kiai", Emha Ainun Nadjib, 1996

Pulau Madura, pembangunan Madura, pejabat Madura, kiai Madura, bahkan
seksualitas Madura, jarang disebut-sebut oleh media massa kita. Terus terang
saya jadi kurang sreg.

Bukan hanya karena watak budaya Madura termasuk saklek, efektif dan memiliki
kecenderungan 'anti eufimisme' yang tinggi dan itu amat relevan dengan penyakit
kebudayaan kita dewasa ini. Bukan pula sekadar karena berdirinya Nahdlatul Ulama
dan Muhammadiyah dulu, kabarnya, berkat restu kiainya, Hasyim Asyhari dan Ahmad
Dahlan di Sumenep, Madura. Tapi hobi orang Madura untuk mengucapkan 'tidak
tentu' - yang mereka logatkan menjadi dak tentu - yang sungguh membuat saya
jatuh hati.

Dak tentu merupakan perwujudan dari kesadaran terhadap relativitas. Di dalam
praktek, ungkapan tersebut merupakan bentuk kehati-hatian yang tinggi terhadap
berbagai ketidakpastian hidup. Dengan bersikap dak tentu, mereka terjaga
ditengah-tengah dua kutub nilai atau keadaan yang bisa menjebak. Kesadaran dak
tentu membuat mereka tidak terlalu mabuk gembira jika memperoleh rezeki, serta
tidak stress serius kalau ditimpa kemalangan.

Dulu saya kurang percaya kepada hobi dak tentu, sebab yang saya dengar hanya
anekdot-anekdot. Misalnya, kata sahibul kisah, pada zaman orla adalah seorang
penjual ikan di pasar Sumenep. Seorang pejabat melakukan kunjungan incognito
dengan maksud untuk mengecek secara langsung tingkat nasionalisme rakyat Madura.

Pejabat itu bertanya, "He Pak, siapa presiden Indonesia?"

Sambil membungkus bandeng untuk diberikan kepada seorang pembeli, si Madura
menjawab seenaknya, "O, dak tentu, Pak!"

Serasa ditonjok jidat sang pejabat. "Siapa presiden Indonesia" adalah pertanyaan
paling gampang di seluruh Nusantara. Dan jawaban dak tentu sungguh-sungguh harus
diwaspadai.

"Dak tentu bagaimana?" Pak Pejabat mengejar.

"Yaa kadang-kadang Subandrio, kadang-kadang Yusuf Muda Dalam. Pokoknya dak
tentu, Pak!"

"Lho, kok bisa begitu?"

"Lha yang di teve atau gambarnya di koran itu dak tentu!"

Pecah rasa kepala. "Lantas kalau Pak Karno itu siapa?!" Pak Pejabat kita naik
pitam dan membentak.

Tetap dengan tenang pula si Madura menjawab, "Ooo lain, Pak! Itu bukan presiden.
Pak Karno itu rajaaa!"

Alkisah pejabat kita itu marah besar, lantas memanggil pejabat-pejabat pulau
itu, dikumpulkan dan disuruh kor lagu wajib. Itu karena jelas terbukti bahwa
nasionalisme orang Madura amat rendah. Kabarnya para pamong daerah itu ambil
suara bareng. "Saaaa....." Tapi kemudian yang dinyanyikan bukan Satu Nusa Satu
Bangsa, melainkan, "Salatulah salamullaaaah...."

Jadi, presiden dan bunyi lagu wajibpun dak tentu.

Anekdot itu tidak saya setujui karena hendaklah kita jangan saling meremehkan di
antara sesama bangsa. Tapi beberapa waktu yang lalu, legenda dak tentu itu
nongol depan hidung saya.

Alkisah mengobrollah saya dengan seorang ustadz dari Madura. Karena sedang musim
reaktualisasi ajaran Islam, bertanyalah saya perihal teologi pembebasan Islam,
sistem perekonomian Islam, apa benar iblis malah masuk surga dan seterusnya. Si
Ustadz tertawa dan menepis, "Ah, koddok mau nunggang sappi! Untuk apa jauh-jauh
ngurusi soal itu, sedangkan apa hukum makan minum saja kita belum tahu!"

Saya membantah, "Lho! Kan jelas sejak dulu. Makan dan minum itu hukumnya mubah.
Halal Boleh."

Si Madura tertawa lagi. "Ooo, dak tentu, Dik, dak tentu!"

Di samping kaget oleh ide jawaban itu, saya juga terhenyak oleh kata dak tentu.
"Dak tentu bagaimana?" tukas saya, "Hukum kok dak tentu?"

"Ya dak tentu, Dik, Kadang-kadang mubah, kadang-kadang wajib, kadang-kadang
sunah, makruh atau bahkan haram."

"Bisa-bisanya begitu?"

"Dengar, Dik. Kalau makan dan minum sekedar mubah atau halal, berarti manusia
boleh tidak makan dan tidak minum, karena tidak wajib, berarti Adik menghina
Tuhan yang sudah capek-capek bikin badan Adik, berarti Adik tidak memelihara
amanat Tuhan. Adik membunuh titipan Tuhan. Jadi makan minum itu wajib. Kalau
Adik bisa hidup tanpa makan minum, ya hukumnya sunat, karena Adik toh dianjurkan
menikmati rezeki Allah. Lha kalau Adik makan minum dalam jumlah yang melebihi
standar syarat kesehatan tubuh, hukumnya makruh. Apalagi kalau Adik makan minum
secara amat berlebihan baik dalam jumlah maupun 'estetika makanan'-nya, maka
bisa haram hukumnya. Terlebih-lebih lagi kalau Adik makan milik orang lain, itu
haram muakkad. Kalau 'orang lain' itu jumlahnya buuuanyaaak, itu super haram.
Dan tak terbayangkan lagi kalau adik makan jembatan, kayu-kayu hutan,
bukit-bukit, perkebunan, minum minyak, air bendungan - itu namanya duuuuancuk!"

Misuh dia. "Apa hukumnya misuh dan mengumpat?"

"Dak tentu, Dik. Tergantung latar belakang yang mendorongnya. Al Qur'an melarang
manusia mengucapkan kata-kata kasar, kecuali dalam keadaan teraniaya. Jadi kalau
tukang-tukang becak karena dimakan laut, ya silahkan misuh, Insya Allah Tuhan
mendengarnya dangan iba dan rasa kasihan."

"Jadi.... " saya tergagap, "hukum itu dak tentu, ya?"

"Dak tentu, Dik. Hukum itu, kalau kata anak-anak sekolahan, tidak bersifat
parsial-statis, melainkan kontekstual-dinamis. Kalau bahasa Maduranya ya dak
tentu. Mencuri karena dengan niat mencuri dan mencuri karena terpojok mencuri,
lain nilai hukumnya."

"Tapi mengapa hakim di pengadilan tak pernah menanyakan apa yang menyebabkan
terdakwa mencuri, atau setidak-tidaknya sistem hukum formal yang berlaku tidak
menyediakan peluang untuk merunut ke latar historisnya, dekat maupun jauh?"

"Ya terserah dia. Hakim itu biasanya kan sudah akil balik. Sudah besar. Sudah
bisa memilih baik buruk dengan segala risikonya."

"Tapi apakah setiap akil balik, setiap orang dewasa, pasti bisa menentukan dan
memilih di antara baik buruk?"

"Dak tentu, Dik."

Saya bertanya dan bertanya terus. Nikmat benar makanan dak tentu itu...

No comments:

RENDRA DALAM MAKNA

Muhammad Ainun Nadjib Rendra yg kami cintai Berpindah rumahnya Dari penglihatan dan pengetahuan Menuju rumah sejati abadi Yg bernama makna, ...